BAB I
PENDAHULUAN
Peningkatan
prevalensi penyakit alergik mengakibatkan makin bergairahnya peneliti mencari
obat yang efektif unuk mengatasi penyakit tersebut. Histamin merupakan salah
satu faktor yang menimbulkan kelainan akut dan kronis, sehingga perlu diteliti
lebih lanjut mekanisme antihistamin pada pengobatan penyakit alergik (Sahat,
2007).
Hormon jaringan adalah
senyawa yang menimbulkan kerja khusus pada jaringan tertentu, akan tetapi tidak
pada organ-organ endokrin melainkan pada sel-sel yang di bentuk
terspesialisasi. Salah satu contohnya adalah mediator, mediator atau bahan
mediator adalah senyawa yang dibebaskan dari sel atau jaringan sel dan segera
bekerja pada sel-sel disekitarnya. Transpor mediator pada aliran darah menuju
ke sel-sel efektor yang lebih jauh , akan tetapi karena inaktivasi yang lebih
cepat tidak mempunyai arti. Yang termasuk dalam mediator disini adalah:
Histamin, serotonin, senyawa rangkaian asam arakhidonat dan kinin Histamin
merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin, banyak terdapat pada
tanaman dan binatang. Dalam organisme manusa terdapat dalam semua jaringan.
Konsentrasi histamin tertinggi terdapat dalam paru-paru, kulit dan dalam
saluran cerna. Histamin terdapat dalam sel mast dan leukosit basofil dalam bentuk
tak aktif secara biologik dan di simpan pada heparin dan protein basa. Histamin
akan dibebaskan dari sel-sel pada reaksi hipersensitivitas, rusaknya sel dan
akibat senyawa kimia (Mutschler, 1991).
Antihistamin
merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin. Antihistamin dan histamin
berlomba menempati reseptor yang sama. Blokade reseptor oleh antagonis H1 menghambat
terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak akibat histamin
misalnya kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
vasodilatasi pembuluh darah.
Akhir-akhir ini
dibuktikan bahwa antihistamin H1 bukan hanya sebagai antagonis tetapi juga
sebagai inverse agonist yang mempunyai kapasitas menghambat aktivitas
reseptor H1 sedangkan antagonis H1 tidak berpengaruh terhadap aktivitas
reseptor H1 (Sahat, 2007)
BAB II
TUJUAN PERCOBAAN
2.1 Tujuan
Percobaan
- Untuk mengetahui efek dari pemberian obat CTM (Chlor Tri Maleat) pada hewan percobaan (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin.
- Untuk mengetahui aktivitas ekstrak daun mimba dengan dosis 100 mg/kgBB pada hewan percobaan (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin.
- Untuk mengetahui aktivitas ekstrak daun mimba dengan dosis 150 mg/kgBB pada hewan percobaan (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin.
BAB III
TINJAUAN
PUSTAKA
Reseptor pada
permukaan sel (termasuk reseptor H1) dapat berikatan dengan protein G yang
terdapat pada membran sel di daerah yang berbatasan dengan sitoplasma (cytosolic
domain of cell membrane).1 Perubahan/peningkatan aktivitas reseptor H1
yang dipengaruhi molekul dari luar sel mengakibatkan perubahan/peningkatan
aktivitas protein G. Perubahan/ peningkatan aktivasi protein G menimbulkan
transduksi signal (signal transduction) ke beberapa target (efektor), sehingga
mengakibatkan aktivasi NF-kB yang merupakan faktor transkripsi yang berperan
pada terjadinya reaksi radang (Sahat, 2007).
Antihistamin
yang pertama kali digunakan pada awal tahun 1940, secara klinik berguna sebagai
anti-alergi. Antihistamin generasi pertama merupakan obat yang paling banyak
digunakan di dunia dan bermanfaat untuk meringankan gejala-gejala alergi dan
influensa pada banyak penderita, dapat diperoleh di toko obat dalam bentuk
kombinasi (Gunawijaya, 2000).
Kegunaannya
terbatas sebab menimbulkan rasa kantuk karena antihistamin berikatan dengan
reseptor histamin di otak. Tiga puluh tahun kemudian efek kerja histamin dibagi
dalam 2 kelompok yaitu reseptor AH1 dan reseptor AH2. Sejak tahun 1981
ditemukan antihistamin generasi ke-2 (terfenadin, astemizol, loratadin dan cetirizin),
bekerja menghambat reseptor H1 di perifer tanpa menembus sawar darah otak
(Gunawijaya, 2000).
Agen
yang menekan sistem imun berperan penting dalam mencegah penolakan organ atau
jaringan cangkokan dan dalam pengobatan beberapa penyakit yang timbul dari
kesalahan pengaturan respon imun (Katzung, 2001).
Walaupun
belakangan ini penelitian mengenai antihistamin berkembang dengan pesat, demi
peningkatan nilai pengobatan penyakit alergi, sampai saat ini masih terus
diusahakan menemukan antihistamin yang efektif dan tidak mempunyai efek
samping, yang disebut sebagai neutral antagonist (Sahat, 2007).
Hipersensitivitas
dapat diklasifikasikan menjadi:
a.
Hipersensitivitas
Segera
Hipersensitivitas segera atau tipe 1 adalah hipersensitivitas yang diperantai
oleh IgE; dengan gejala yang biasanya timbul dengan hitungan menit setelah
pasien terpajan antigen.
1.
Hipersensitivitas
tipe 1 terjadi akibat pertautan silang IgE yang terikat membran pada basofil
darah atau sel mast jaringan oleh antigen. Pertautan silang ini menyebabkan sel
mengalami degranulasi dan melepaskan beberapa zat seperti histamin, leukotrien,
dan faktor kemotaktik, eoosinofil, yang mampu memicu anafilaksis, asma, demam
hay, atau urtikaria (biduran) pada individu yang terkena. Reaksi hipersensitivitas
tipe 1 yang berat, seperti anafilaksis sistemik (misalnya, akibat sengatan
serangga, ingesti makanan-makanan tertentu, atau hipersensitivitas obat)
memerlukan penanganan medis segera (Katzung, 2010).
2.
Tipe
II: Hipersensitivitas tipe II terjadi akibat pembentukan kompleks antigen
antibodi antara antigen asing dan imunoglobulin IgG atau IgM. Salah satu jenis
hipersensitivitas ini adalah reaksi transfusi darah yang dapat terjadi jika
darah tidak dicocok silang (cross matched) dengan benar. Antibodi yang telah
terbentuk sebelumnya berikatan dengan antigen membran sel darah merah sehingga
kaskade komplemen teraktivasi, menghasilkan kompleks penyerang membran yang
melisiskan sel darah merah yang ditransfusikan. Pada penyakit hemolitik yang
diderita neonatus, antibodi IgG anti-Rh yang dihasilkan oleh ibu Rh-negatif
melintasi plasenta berikatan dengan sel darah merah janin Rh-positif dan
merusaknya (Katzung, 2010).
3.
Tipe
III: Hipersensitivitas tipe III terjadi akibat adanya peningkatan kadar
kompleks antigen antibodi yang menumpuk pada membran basal jaringan dan
pembuluh. Penumpukan kompleks imun mengaktifkan komplemen untuk menghasilkan
komponen dengan aktivitas anafilatoksis dan kemotaktik yang meningkatkan
permeabilitas vaskular dan merekrut neutrofil kelokasi penumpukan kompleks.
Penumpukan kompleks dan kerja enzim litik yang dilepaskan oleh neutrofil dapat
menyebabkan timbulnya ruam kulit, glumerulonefritis, dan artritis pada
penderitanya (Katzung,2010).
b.
Tipe
IV: Hipersensitivitas Tipe Lambat
Tidak seperti reaksi hipersensitivitas tipe I, II, dan III
hipersensitivitas tipe lambat diperantai oleh sel, dan respon terhadapnya
timbul 2-3 hari setelah pajanan antigen yang menyensitisasi. Hipersensitivitas
tipe ini disebabkan oleh sel TH1 DTH yang spesifik terhadap antigen
dan menginduksi respon inflamasi lokal yang menyebabkan kerusakan jaringan yang
ditandai dengan influks sel-sel inflamasi yang nonspesifik terhadap antigen
terutama makrofag (katzung, 2010)
Histamin
dan serotonin (5-dihidroksitriptamin) di dapatkan pada banyak jaringan,
memiliki efek fisiologi dan banyak jaringan, memiliki efek fisiologis dan patologis
yang kompleks melalui berbagai subtipe reseptor, dan sering kali melepaskan
setempat. Histamin dan serotonin bersama peptida endogen, prostaglandin, dan
leukotrin kadaang-kadang disebut autakioid atau hormon lokal (Dewoto, 2011).
Histamin
dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi ergot. Pada awal abad ke 19,
histamin dapat diisolasi dari jaringan hati dan paru-paru segar. Histamin juga
ditemukan pada berbagai oleh jaringan tubuh, oleh karena itu diberi nama
histamin (histos = jaringan) (Dewoto, 2011).
Hipotesis
mengenai peran fisiologis histamin, didasarkan pada adanya persamaan antara
efek-efek histamin dengan gejala gejala syok anafilaktis dan trauma jaringa
(Dewoto, 2011).
Meskipun
terdapat perbedaan diantara spesies, pada manusia histamin merupakan mediator
yang penting pada reaksi alergi tipe segera(immediate) dan reaksi inflamasi.
Selain itu, histamin memiliki peran penting dalam sekresi asam lambung dan
berfungsi sebagai suatu neurotransmitter dan neuromudulator (Dewoto, 2011).
Secara
kimia, histamin merupakan 2-(4-imidazoil) etilamin, didapatkan pada tanaman
maupun jaringan hewan serta merupakan komponen dari beberapa racun dan sekret sengatan
binatang (Dewoto, 2011).
Histamin
disebut juga asam amino L-histidin dengan cara dekarboksilasi oleh enzim
histidin dekarboksilase dan memerlukan piridoksal fosfat sebagai kofaktor
(Dewoto, 2011).
Mekanisme
kerja histamin yaitu dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat
pada permukaan membran. Dewasa ini didapatkan 3 jenis reseptor histamin yaitu
H1, H2 dan H3. Reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan
dengan protein G (Dewoto, 2011).
Reaksi antigen-antibodi
umumnya berlangsung dengan tenang, artinya tanpa tanda-tanda luar yang dapat di
kenal. Hipersensitif jenis segera dan menurut reaksi dibedakan atas:
-
Reaksi anafilaktik,
yaitu di betuk terutama imunoglobulin tipe IgE (reagin). Antibodi IgE mempunyai
kemampuan melekat pada permukaan sel mast atau granulosit basofil.
-
Reaksi sitotoksik,
untuk reaksi jenis ini maka antibodi IgG dan IgM yang betanggung jawab. Di
sa,ping itu sistem komplemen terlibat. Secara klinik reaksi sitotoksik
kebanyakan dinyatakan melalui kerusakan sel-sel darah.
-
Reaksi yang di
timbulkan oleh kompleks imun, ini terjadi apabila tebentuk kompleks imun antara
antigen dan antibodi yang beredar dalam sistem sirkulasi maka dapat terjadi
secara menyeluruh.
Histamin bekerja pada 2 reseptor
berbeda yang disebut reseptor H1 dan H2. Stimulator reseptor H1 menimbulkan:
-
Vasokonstriksi
pembuluh-pembuluh yang lebih besar.
-
Kontraksi otot
bronchus, otot usus, otot uterus.
-
Kontraksi sel-sel
endotel.
-
Kenaikan aliran limfa.
Stimulator reseptor H2 menyebabkan:
-
Dilatasi pembuluh
paru-paru
-
Meningkatkan frekuensi
jantiung dan kenaikan kontraktilitas jantung, serta
-
Kenaikan sekresi
kelenjar, terutama dalam mukosa lambung
Stimulasi pada kedua jenis reseptor
menyebabkan vasodilatasi arteriol dan pembuluh darah koronaria (Mutschler,
1991).
Pada
otak reseptor H1 dan H2 terletak pada membran pascasinapsis sedangkan reseptor
H3 terutama prasinapsis. Aktivitas reseptor H1 yang terdapat pada endotel dan
sel otot polos menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah, dan sekresi mukus (Dewoto, 2009).
Sebagian
dari efek tersebut mungkin diperantai oleh peningkatan cGMP ( cyclic guanosine
monophosphate) di dalam sel. Histamin juga berperan sebagai neurotransmitter
dalam susunan saraf pusat. Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot
jantung dan beberapa sel imun (Dewoto, 2009).
Aktivitas
reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung, selain itu juga berperan
dalam menyebabkan vasodilatasi dan flusing. Histamin menstimulasi sekresi asalm
lambung, meningkatkan kadar cAMP dan menutunkan kadar cGMP sedangkan
antihistamin H2 menghambat efek tersebut (Dewoto, 2009).
Pada
otot-otot polos bronkus aktivitas rseptor H1 histamin menyebabkan
bronkokonstriksi, sedangkan aktivitas reseptor H2 oleh agonis reseptor H2 akan
menyebabkan relaksasi. Reseptor H2 berfungsi sebagai penghambat umpan balik
pada berbagai sistem organ (Dewoto, 2009).
Aktivitas
reseptor H3 yang didapatkan dibeberapa daerah di otak mengurangi penglepasan
transmitter baik histamin maupun norepineprin, seroronin dan asetilkolin.
Meskipun agonis reseptor H3 berpotensi untuk digunakan antara lain sebagai
gastroprotektif, dan digunakan sebagai antiobesitas. Sampai saat ini belum ada
agonis maupun antagonis reseptor H3 yang diizinkan untuk digunakan di klinik
(Dewoto, 2009).
EFEK
HISTAMIN
a.
kardiovaskular,
dilatasi kapiler
Efek
histamin yang terpenting pada manusia adalah dilatasi kapiler. Dengan akibat
kemerahan dan rasa panas di wajah, menurunnya resistesi perifer dan tekanan
darah. Afinitas histamin terhadap reseptor H1 amat kuat, efek vasodilatasi
cepat timbul dan berlangsung singkat. Sebaliknya pengaruh histamin tersebut
terhadap reseptor H2 menyebabkan vasodilatasi yang timbul lebih lambat dan
berlangsung lebih lama, akibatnya pemberian AH1 dosis kecil hanya dapat
menghilangkan efek dilatasi oleh histamin dalam jumlah lebih besar dapat
dihambat oleh AH1 dan AH2 (Dewoto, 2009).
b.
Permeabilitas
kapiler
Histamin
meningkatkan permeabilitas kapiler dan ini merupakan efek sekunder terhadap
pembuluh darah kecil. Akibatnya protein dan cairan plasma keluar ke ruangan
ekstrasel dan menimbulkan edema. Efek ini jelas disebabkan oleh peranan
histamin terhadap reseptor H1 (Dewoto, 2009).
c.
Tripel
respon
Bila
histamin disuntikkan intradermal pada manusia akan timbul tiga tanda khas yang
disebut tripel respon dari lewis, yaitu:
1.
Bercak
merah setempat beberapa mm sekeliling tempat suntikan hal ini disebabkan
dilatasi lokal kapiler, vena dan arteri terminal akibat efek langsung histamin.
Daerah tersebut dalam satu menit menjadi kebiruan atau tidak jelas lagi karena
adanya edema
2.
Flare
yaitu berupa kemerahan yang lebih terang dengan bentuk yang tidak teratur dan
menyebar ± 1-3 cm sekitar bercak awal. Ini disebabkan oleh dilatasi arteri yang
berdekatan akibat refluks akson
3.
Edema
setempat (wheal) yang dapat dilihat setelah 1-2 menit pada daerah bercak awal.
Edema ini menunjukkan meningkatnya permeabilitas oleh histamin (Dewoto, 2009).
d.
Pembuluh
darah besar
Histamin
cenderung menyebabkan konstriksi pembuluh darah besar yang intensitasnya
berbeda antar spesies. Pada binatang pengerat konstriksi juga terjadi pada
pembuluh darah yang kecil, bahkan pada dosis yang besar vasokonstriksi menutupi
efek vasodilatasi kapiler sehingga justru terjadi peningkatan resistensi
perifer (Dewoto, 2009).
e.
Jantung
Histamin
mempengaruhi langsung kontraktilitas dan elektrisitas jantung. Obat ini
mempercepat depolarisasi diastol di nodus SA sehingga frekuensi denyut jantung
meningkat. Histamin juga memperlambat konduksi AV, meningkatkan automatisitas
jantung sehingga pada dosis tinggi dapat menyebabkan aritmia. Semua efek ini
terjadi melalui perangsangan reseptor H1 dijantung, kecuali perlambatan
konduksi AV yang terjadi lewat perangsangan reseptor H (Dewoto, 2009).
f.
Tekanan
darah
Pada
manusia dan beberapa spesies lain, dilatasi arteriol dan kapiler akibat
histamin dosis sedang menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang kembali
normal setelah terjadi refleks kompensasi atau setelah histamin dihancurkan.
Bila dosis histamin sangat besar maka hipotensi tidak dapat diatasi dan dapat
terjadi syok histamin (Dewoto, 2009).
g.
Otot
polos non vaskular
Histamin
merangsang atau menghambat kontraksi berbagai otot polos. Kontraksi otot polos.
Kontraksi otot polos terjadi akibat aktivasi reseptor H1, sedangkan relaksasi
otot polos sebagian besar akibat aktivasi reseptor H2. Histamin menyebabkan
bronkokonstriksi pada marmut walaupun dengan dosis kecil, sebaliknya histamin
menyebabkan relaksasi bronkus pada domba dan trakea kucing (Dewoto, 2009).
h.
Kelenjar
ekokrin, kelenjar lambung
Histamin
dalam dosis lebih rendah yang berpengaruh terhadap tekanan darah akan
meningkatkan sekresi asam lambung. Pada manusia dosis menyebabkan pengeluaran
pepsin dan faktor intrinsik castle bertambah sejalan dengan meningkatnya sekresi
HCl. Ini akibatnya perangsangan langsung terhadap sel parietal melalui reseptor
H2 (Dewoto, 2009).
i.
Kelenjar
lain
Histamin
meninggikan sekresi kelenjar liur, prankeas, bronkus dan air mata tetapi umunya
efek ini lemah dan tidak tetap (Dewoto, 2009).
j.
Ujung
saraf sensoris, nyeri dan gatal
Flare
oleh histamindisebabkan oleh pengarunya pada ujung saraf yang menimbulkan
refleks akson. Ini meupakan kerja histamin merangsang reseptor H1 diujung saraf
sensoris (Dewoto, 2009).
k.
Medula
agrenal dan ganglia
Selain
merangsang ujung saraf sensoris, histamin dosis besar juga langsung merangsang
sel kromafin medula adrenal dan sel ganglion otonom (Dewoto, 2009).
Aktivitas
terpenting antihistamin adalah :
-
Kontraksi
otot polos bronki, usus dan rahim
-
Vasodilatasi
semua pembuluh dengan penurunan tekanan darah
-
Memperbesar
permeabilitas kapiler untuk cairan dan protein dengan akibat udema dan
pembengkakan mukosa
-
Hiperskresi
ingus dan air mata, ludah, dahak dan air mata
-
Stimulasi
ujung saraf dengan eritema dan gatal-gatal (Tjay, 2007)
Alergi
merupakan reaktivitas khusus dari tuan rumah (host) terhadap suatu unsur
eksogen yang timbul pada kontak kedua kali atau berikutnya. Mekanismenya yaitu
bila suatu protein asing (antigen) masuk berulang kali kedalam darah, maka
limfosit B akan membentuk antibodi dari tipe IgE. IgE ini disebut jugs resgin
mengikat diri pada membran mast cell tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian
antigen yang sama atau mirip rumus bangunnya memasuku darah lagi maka IgE akan
mengenali dan mengikat padanya. Hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibatnya
pecahnya membran mast cell atau terjadi degranulasi mast cell (Tjay, 2007).
Sejumlah
zat perantara dilepaskan yakni histamin, bersama serotonin, bradikinin dan asam
arakidonat yang kemudian diubah menjadi prostaglandin. Zat-zat itu menarik
makrofag dan neutrofil ke tempat infeksi untuk memusnahkan penyerbu. Selain itu
juga mengakibatkan beberapa gejala antara lain: bronkokonstriksi, vasodilatasi
dan pembengkakan jaringan terhadap reaksi sebagai masuknya antigen (Tjay,
2007).
Sistem
imun bekerja untuk melindungi untuk melindungi tubuh dari infeksi oleh
mikroorganisme, membantu proses penyembuhan dalam tubuh, dan membuang atau
memperbaiki sel yang rusak apabila terjadi infeksi atau cedera (Crowin, 2009).
Terdapat
lima imunoglobulin spesifik yang dibentuk dalam merespon terhadap antigen yaitu
a.
Imunoglubulin
G
Imunoglubulin
G adalah antibodi paling banyak ditemukan dan mencakup sekitar 80% dari semua
imunoglobulin dalam darah. IgG adalah antibodi utama yang melintasi plasenta
dari ibu kepada janinnya selama kehamilan. Kadar IgG meningkat secara lambat
selama respon primer terhadap suatu antigen, tetapi meningkat secara tepat dan
dengan kekuatan yang leebih besar pada pajanan kedua
b.
Imunoglubulin
M
1munoglobulin
M adalah jenis yang pertama kali dibentuk dan paling tinggi konsentrasinya
sewaktu pajanan primer kepada suatu antigen. IgM adalah antibodi berukuran
terbesar.
c.
Imunoglobulin
A
Imunoglobulin
A paling banyak terdapat dalam sekresi misalnya air liur, mukus vagina, aie
susu, sekresi saluran cerna dan paru, dan semen. IgA lebih bekerja secara lokal
daripada sistemik. IgA ibu disalurkan kepada bayinya sewaktu menyusui(seperti
juga IgG dan IgM dalam jumlah yang lebih sedikit.
d.
Imunoglobulin
E
Imunoglobulin
E berperan dalam respon alergi. Imunoglobulin ini juga merupakan antibodi yang
paling berstimulasi pada infeksi parasit.
e.
Imunoglobulin
D
Imunoglobulin
D terdapat dalam konsentrasi rendah dalam darah . perannya dalam respon imun
tidak diketahui, meski diakui membantu proses pematangan dan deferensiasi semua
sel B (Crowin, 2009).
Penyakit
autoimun timbul bila tubuh memunculkan respon imun terhadap dirinya sendiri
akibat kegagalan membedakan jaringan dan sel tubuh sendiri dengan antigen
asing. Fenomena ini berasal dari aktifitas limfosit B dan T terhadap tubuh
sendiri dan menimbulkan respon imun humoral dan respon imun berperantara sel
yang di arahkan terhadap antigen sendiri. Konsekuensi patologik reaktifitas ini
mendasari beberapa jenis penyakit autoimun. Penyakit autoimun sangatlah
kompleks karena berurusan dengan ginetika MHC. Keadaan lingkungan entitas
infeksius, dan disfungsi pengaturan imun. Contoh penyakitnya adalah arkthritis
reumatoid, lupus, erite matosus sistemik, sklerosis multipel, dan dibetes
mellitus bergantung insulin (Diabetes Tipe I) (Lake,2010).
Penyakit
imunodefisiensi timbul akibat tidak adekuatnya fungsi sistem imun,
konsekuensinya antara lain meningkatnya kepekaan terhadap infeksi (Lake,2010)
BAB IV
METODE PERCOBAAN
4.1
Alat
·
Timbangan hewan
·
Spuit 1 ml
·
Spuit 3 ml
·
Oral sonde
·
Beaker glass 50 ml
·
Stopwatch
·
Alat cukur
·
Spidol marker permanent
·
Kotak kaca
·
Kandang
4.2
Bahan
·
Ovalbumin
·
NaCl 0,9%
·
Evans blue
·
CTM
·
CMC Natrium
4.3
Prosedur
Percobaan
1. Satu
minggu sebelum praktikum, tikus di timbang dan di tandai.
2. Hewan
di bagi dalam beberapa kelompok.
3. Hewan
di sensitisasi secara aktif dengan injeksi suspensi ovalbumin dalam NaCl 0,9%. I =
0,6 ml secara intraperitoneal
II = 0,1 ml secara
intraplantar
III = 0,1 ml secara
subcutan
4. Pada
hari praktikum, tikus yang sudah di sensitisasi di cukur bulu punggungnya lalu
di tritmen dengan CTM dengan dosis 6 mg/kgBB dan larutan ekstrak dengan dosis
100 mg/kgBB dan dosis 150 mg/kgBB.
5. Satu
jam berikutnya, tikus di suntik dengan larutan evans blue sebanyak 0,2 ml,
secara intravena melalui vena ekor.
6. Tikus
disuntikkan lagi dengan ovalbumin pada daerah sensitisasi awal secara subkutan
sebanyak 0,3 ml.
7. Dilakukan
pengamatan dengan interval waktu 30, 60, dan 90 menit.
8.
Anafilaksis kutan aktif
di tandai dengan munculnya benjolan yang berwarna biru pada area injeksi
(punggung tikus).
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1 Hasil
No
|
Pengujian
|
Berat
Tikus
|
Waktu
Pengamatan
|
||
30
|
60
|
90
|
|||
1
|
CMC
1% Kontrol Positif
|
188,3
g
|
0
|
0
|
0
|
2
|
CMC
1% Kontrol Negatif
|
196,7
g
|
0
|
2
|
2
|
3
|
Sediaan
Uji Ekstrak Mimba 100 mg/kgBB
|
197,5
g
|
0
|
2
|
2
|
210,4
g
|
0
|
0
|
0
|
||
4
|
Sediaan
Uji Ekstrak Mimba 150 mg/kgBB
|
251,5
g
|
2
|
2
|
2
|
143,20
g
|
2
|
4
|
4
|
||
5
|
Pembanding
CTM 6 mg/kgBB
|
325,5
g
|
0
|
0
|
0
|
164,7
g
|
2
|
2
|
2
|
Keterangan:
0
= Tidak Berwarna (tidak ada)
2
= Sedikit Berwarna Biru (ringan)
4
= Warna Biru Terang (ringan)
6
= Warna Biru Gelap (Moderat >4)
8
= Bengkak dengan Warna Biru Gelap (Berat)
·
Kontrol CMC 1% Kontrol Positif
-
Tikus 1 = 188,3 g
Volume CMC yang disuntikkan (ml) = 1% x berat badan
=
1% x 188,3 g
= 1,883 ml
·
Kontrol CMC 1% Kontrol Negatif
-
Tikus 2 = 196,7 g
Volume CMC yang disuntikkan (ml) = 1% x berat badan
=
1% x 196,7 g
=
1,967 ml
·
Uji Ekstrak Mimba 1%,
dosis 100 mg/kg BB
-
Tikus 3 = 197,5 g
Jumlah
ekstrak (mg) = 100 mg/kg BB x
197,5 g
1000
=
19,75 mg
Konsentrasi
ekstrak = 1 %
1% =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah
larutan obat yang diberikan = 19,75
mg = 1,975 ml =2 ml
10 mg/ml
·
Uji Ekstrak Mimba 1%,
dosis 100 mg/kg BB
-
Tikus 4 = 210,4 g
Jumlah
ekstrak (mg) = 100 mg/kg BB x
210,4 g
1000
=
21,04 mg
Konsentrasi
ekstrak = 1 %
1% =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah
larutan ekstrak yang diberikan = 21,04 mg
= 2,104 ml
10 mg/ml
·
Uji Ekstrak Mimba 1%,
dosis 150 mg/kg BB
-
Tikus 5 = 251,5 g
Jumlah
ekstrak (mg) = 150 mg/kg BB x
251,5 g
1000
=
37,725 mg
Konsentrasi
ekstrak = 1 %
1% =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan ekstrak
yang diberikan = 37,725 mg = 3,772 ml
10 mg/ml
·
Uji Ekstrak Mimba 1%,
dosis 150 mg/kg BB
-
Tikus 6 = 143,2 g
Jumlah
ekstrak (mg) = 150 mg/kg BB x
143,2 g
1000
=
21,48 mg
Konsentrasi
ekstrak = 1 %
1% =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan ekstrak
yang diberikan = 21,48 mg =
2,148 ml
10 mg/ml
·
Pembanding CTM 1% dosis
6 mg/kgBB
-
Tikus 7 = 325,5 g
Jumlah
obat (mg) = 6 mg/kg BB x
325,5 g
1000
=
1,953 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1% =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah
larutan obat yang diberikan = 1,953
mg = 0,953 ml
10 mg/ml
Skala 1:100
= 0,1953 = 19,53 skala
0,01
· Pembanding CTM 1% dosis 6 mg/kgBB
-
Tikus 8 = 164,7 g
Jumlah
obat (mg) = 6 mg/kg BB x
164,7 g
1000
=
0,9882 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1% =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah
larutan obat yang diberikan = 0,9882
mg = 0,0988 ml
10 mg/ml
Skala 1:100
= 0,0988 = 9,882 skala
0,01
5.2 Pembahasan
Dengan
pemberian skor terhadap intensitas warna yang tampak pada punggung hewan uji
kontrol positif pada menit ke 30 menunjukkan angka 0 yang berarti belum
menampakkan reaksi alergi, pada menit ke 60 dan 90 skor 2 sedikit berwarna biru
yang berarti menampakkan reaksi alergi ringan. Pada hewan uji kontrol negatif
tidak menunjukkan reaksi alergi baik pada menit ke 30 sampai menit ke 90. Hal
ini disebabkan karena pada kontrol uji positif diberikan ovalbumin secara
subkutan sebanyak 0,3 ml sebagai antige/protein asing sedangkan kontrol negatif
tidak diberikan injeksi ovalbumin.
Hewan uji yang diberikan ekstrak daun mimba 1%
100 mg/kgBB berat badan masing-masing 197,5 gr menunjukkan skor 0 pada menit ke
30, 60 dan 90 yang berarti tidak terjadi reaksi alergi. Sedangkan hewan uji
dengan berat badan 177,2 gr menunjukkan skor 2 pada menit ke 30, 60 dan 90 yang
berarti terjadi reaksi alergi ringan. Hewan uji yang diberikan ekstrak daun
mimba 1% 150 mg/kgBB dengan berat badan hewan uji 210,4 gr menunjukkan skor 2
pada menit ke 30 yang berarti terjadi reaksi alergi ringan dan pada menit ke 60
dan 90 menunjukkan angka 4 yang juga berarti terjadi reaksi alergi ringan. Pada
Hewan uji yang diberikan ekstrak daun mimba 1% 150 mg/kgBB dengan berat badan
hewan uji 143,2 gr menunjukkan skor 0 pada menit ke 30, 60 dan 90 yang berarti
tidak terjadi reaksi alergi. Dari keempat hasil yang diperlihatkan hewan uji
yang diberikan ekstrak daun mimba 1% 100mg/kgBB maka dikatakan bahwa ekstrak
daun mimba mempunyai efek anti alergi terhadap hewan uji. Sedangkan pada hewan
uji yang diberikan ekstrak daun mimba 1% 150mg/kgBB ekstrak daun mimba tidak menunjukkan
efek antialergi, hal ini disebabkan karena adanya kesalahan praktikan pada saat
pemberian ekstrak secara oral, dimana ekstraknya tidak masuk secara sempurna
pada mulut hewan uji.
Hewan
uji yang diberikan larutan CTM 1% 6 mg/kgBB dengan berat badan hewan uji 325,5
gr menunjukkan skor 0 pada menit ke 30,60 dan 90 yang berarti tidak terjadi
reaksi alergi. Hal ini disebabkan karena CTM sebagai obat antialergi telah
menghambat reaksi alergi yang umumnya terjadi. Sedangkan hewan uji dengan berat
badan 164,7 gr menunjukkan skor 2 pada menit ke 30, 60 dan 90 yang berarti terjadi
reaksi alergi. Pada hewan uji ini tidak menunjukkan adanya efek antialergi
dengan pemberian larutan CTM, hal ini disebabkan oleh karena adanya kesalahan
praktikan pada saat pemberian larutan CTM secara oral, dimana larutannya tidak
masuk secara sempurna pada mulut hewan uji. ( Dewoto, 2011)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Pemberian larutan CTM (Chlor Tri Maleat) 1% 6
mg/KgBB pada hewan uji (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin memberikan efek
antialergi.
2. Ekstrak daun mimba 1% dengan dosis 100 mg/kgBB
pada hewan uji (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin memberikan efek
antialergi.
3. Ekstrak daun mimba 1% dengan dosis 150 mg/kgBB
pada hewan uji (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin memberikan efek
antialergi.
6.2. Saran
1. Diharapkan
agar lebih hati-hati pada saat penyuntikan intravena di ekor tikus. Jarum
suntik harus benar-benar masuk ke pembuluh vena dan dilakukan secara perlahan
agar evansblue dapat mengalir sempurna ke seluruh tubuh tikus karena jika tidak
pembuluh vena tikus akan pecah.
2. Diharapkan
agar lebih teliti saat pencukuran bulu punggung tikus agar tikus tidak terluka.
DAFTAR PUSTAKA
Crowin, E. J.
(2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi III. Jakarta: EGC
Dewoto, H. R. (2009). Histamin dan
Anti Alergi. Dalam Buku: Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Editor Sulistia Gan Gunawan. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Gunawijaya, F. A. (2000). Manfaat
Penggunaan Antihistamin Generasi Ketiga. FK Univ. Trisakti
Lake,
D. F. dan Emmanuel, T. A. (2010). Imunofarmakologi. Dalam Buku: Farmakologi
Dasar & Klinik. Editor Bertram G. Katzung. Jakarta: EGC
Mutschler,
E, (1991). Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Bandung: Penerbit
ITB
Sahat, S. (2007). Mekanisme
Antihistamin Pada Pengobatan Penyakit Alergik: Blokade Reseptor Penghambatan
Aktivasi Reseptor. Surabaya: FK Unair
Tjay,
T. H dan Kirana R. (2007). Obat-Obat
Penting Penggunaan dan efek-efek sampingnya Edisi V. Jakarta: PT Alex
Medika Komputindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar