Senin, 14 Juli 2014

praktikum antihistamin



BAB I
PENDAHULUAN

Peningkatan prevalensi penyakit alergik mengakibatkan makin bergairahnya peneliti mencari obat yang efektif unuk mengatasi penyakit tersebut. Histamin merupakan salah satu faktor yang menimbulkan kelainan akut dan kronis, sehingga perlu diteliti lebih lanjut mekanisme antihistamin pada pengobatan penyakit alergik (Sahat, 2007).
Hormon jaringan adalah senyawa yang menimbulkan kerja khusus pada jaringan tertentu, akan tetapi tidak pada organ-organ endokrin melainkan pada sel-sel yang di bentuk terspesialisasi. Salah satu contohnya adalah mediator, mediator atau bahan mediator adalah senyawa yang dibebaskan dari sel atau jaringan sel dan segera bekerja pada sel-sel disekitarnya. Transpor mediator pada aliran darah menuju ke sel-sel efektor yang lebih jauh , akan tetapi karena inaktivasi yang lebih cepat tidak mempunyai arti. Yang termasuk dalam mediator disini adalah: Histamin, serotonin, senyawa rangkaian asam arakhidonat dan kinin Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin, banyak terdapat pada tanaman dan binatang. Dalam organisme manusa terdapat dalam semua jaringan. Konsentrasi histamin tertinggi terdapat dalam paru-paru, kulit dan dalam saluran cerna. Histamin terdapat dalam sel mast dan leukosit basofil dalam bentuk tak aktif secara biologik dan di simpan pada heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel-sel pada reaksi hipersensitivitas, rusaknya sel dan akibat senyawa kimia (Mutschler, 1991).
Antihistamin merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin. Antihistamin dan histamin berlomba menempati reseptor yang sama. Blokade reseptor oleh antagonis H1 menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak akibat histamin misalnya kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi pembuluh darah.
Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa antihistamin H1 bukan hanya sebagai antagonis tetapi juga sebagai inverse agonist yang mempunyai kapasitas menghambat aktivitas reseptor H1 sedangkan antagonis H1 tidak berpengaruh terhadap aktivitas reseptor H1 (Sahat, 2007)
BAB II
TUJUAN PERCOBAAN

2.1 Tujuan Percobaan         
  1. Untuk mengetahui efek dari pemberian obat CTM (Chlor Tri Maleat) pada hewan percobaan (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin.
  2. Untuk mengetahui aktivitas ekstrak daun mimba dengan dosis 100 mg/kgBB pada hewan percobaan (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin.
  3. Untuk mengetahui aktivitas ekstrak daun mimba dengan dosis 150 mg/kgBB pada hewan percobaan (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin.




















BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Reseptor pada permukaan sel (termasuk reseptor H1) dapat berikatan dengan protein G yang terdapat pada membran sel di daerah yang berbatasan dengan sitoplasma (cytosolic domain of cell membrane).1 Perubahan/peningkatan aktivitas reseptor H1 yang dipengaruhi molekul dari luar sel mengakibatkan perubahan/peningkatan aktivitas protein G. Perubahan/ peningkatan aktivasi protein G menimbulkan transduksi signal (signal transduction) ke beberapa target (efektor), sehingga mengakibatkan aktivasi NF-kB yang merupakan faktor transkripsi yang berperan pada terjadinya reaksi radang (Sahat, 2007).
Antihistamin yang pertama kali digunakan pada awal tahun 1940, secara klinik berguna sebagai anti-alergi. Antihistamin generasi pertama merupakan obat yang paling banyak digunakan di dunia dan bermanfaat untuk meringankan gejala-gejala alergi dan influensa pada banyak penderita, dapat diperoleh di toko obat dalam bentuk kombinasi (Gunawijaya, 2000).
Kegunaannya terbatas sebab menimbulkan rasa kantuk karena antihistamin berikatan dengan reseptor histamin di otak. Tiga puluh tahun kemudian efek kerja histamin dibagi dalam 2 kelompok yaitu reseptor AH1 dan reseptor AH2. Sejak tahun 1981 ditemukan antihistamin generasi ke-2 (terfenadin, astemizol, loratadin dan cetirizin), bekerja menghambat reseptor H1 di perifer tanpa menembus sawar darah otak (Gunawijaya, 2000).
Agen yang menekan sistem imun berperan penting dalam mencegah penolakan organ atau jaringan cangkokan dan dalam pengobatan beberapa penyakit yang timbul dari kesalahan pengaturan respon imun (Katzung, 2001).
Walaupun belakangan ini penelitian mengenai antihistamin berkembang dengan pesat, demi peningkatan nilai pengobatan penyakit alergi, sampai saat ini masih terus diusahakan menemukan antihistamin yang efektif dan tidak mempunyai efek samping, yang disebut sebagai neutral antagonist (Sahat, 2007).
Hipersensitivitas dapat diklasifikasikan menjadi:


a.       Hipersensitivitas Segera
Hipersensitivitas segera atau tipe 1 adalah hipersensitivitas yang diperantai oleh IgE; dengan gejala yang biasanya timbul dengan hitungan menit setelah pasien terpajan antigen.
1.      Hipersensitivitas tipe 1 terjadi akibat pertautan silang IgE yang terikat membran pada basofil darah atau sel mast jaringan oleh antigen. Pertautan silang ini menyebabkan sel mengalami degranulasi dan melepaskan beberapa zat seperti histamin, leukotrien, dan faktor kemotaktik, eoosinofil, yang mampu memicu anafilaksis, asma, demam hay, atau urtikaria (biduran) pada individu yang terkena. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang berat, seperti anafilaksis sistemik (misalnya, akibat sengatan serangga, ingesti makanan-makanan tertentu, atau hipersensitivitas obat) memerlukan penanganan medis segera (Katzung, 2010).
2.      Tipe II: Hipersensitivitas tipe II terjadi akibat pembentukan kompleks antigen antibodi antara antigen asing dan imunoglobulin IgG atau IgM. Salah satu jenis hipersensitivitas ini adalah reaksi transfusi darah yang dapat terjadi jika darah tidak dicocok silang (cross matched) dengan benar. Antibodi yang telah terbentuk sebelumnya berikatan dengan antigen membran sel darah merah sehingga kaskade komplemen teraktivasi, menghasilkan kompleks penyerang membran yang melisiskan sel darah merah yang ditransfusikan. Pada penyakit hemolitik yang diderita neonatus, antibodi IgG anti-Rh yang dihasilkan oleh ibu Rh-negatif melintasi plasenta berikatan dengan sel darah merah janin Rh-positif dan merusaknya (Katzung, 2010).
3.      Tipe III: Hipersensitivitas tipe III terjadi akibat adanya peningkatan kadar kompleks antigen antibodi yang menumpuk pada membran basal jaringan dan pembuluh. Penumpukan kompleks imun mengaktifkan komplemen untuk menghasilkan komponen dengan aktivitas anafilatoksis dan kemotaktik yang meningkatkan permeabilitas vaskular dan merekrut neutrofil kelokasi penumpukan kompleks. Penumpukan kompleks dan kerja enzim litik yang dilepaskan oleh neutrofil dapat menyebabkan timbulnya ruam kulit, glumerulonefritis, dan artritis pada penderitanya (Katzung,2010).
b.      Tipe IV: Hipersensitivitas Tipe Lambat
Tidak seperti reaksi hipersensitivitas tipe I, II, dan III hipersensitivitas tipe lambat diperantai oleh sel, dan respon terhadapnya timbul 2-3 hari setelah pajanan antigen yang menyensitisasi. Hipersensitivitas tipe ini disebabkan oleh sel TH1 DTH yang spesifik terhadap antigen dan menginduksi respon inflamasi lokal yang menyebabkan kerusakan jaringan yang ditandai dengan influks sel-sel inflamasi yang nonspesifik terhadap antigen terutama makrofag (katzung, 2010)
Histamin dan serotonin (5-dihidroksitriptamin) di dapatkan pada banyak jaringan, memiliki efek fisiologi dan banyak jaringan, memiliki efek fisiologis dan patologis yang kompleks melalui berbagai subtipe reseptor, dan sering kali melepaskan setempat. Histamin dan serotonin bersama peptida endogen, prostaglandin, dan leukotrin kadaang-kadang disebut autakioid atau hormon lokal (Dewoto, 2011).
Histamin dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi ergot. Pada awal abad ke 19, histamin dapat diisolasi dari jaringan hati dan paru-paru segar. Histamin juga ditemukan pada berbagai oleh jaringan tubuh, oleh karena itu diberi nama histamin (histos = jaringan) (Dewoto, 2011).
Hipotesis mengenai peran fisiologis histamin, didasarkan pada adanya persamaan antara efek-efek histamin dengan gejala gejala syok anafilaktis dan trauma jaringa (Dewoto, 2011).
Meskipun terdapat perbedaan diantara spesies, pada manusia histamin merupakan mediator yang penting pada reaksi alergi tipe segera(immediate) dan reaksi inflamasi. Selain itu, histamin memiliki peran penting dalam sekresi asam lambung dan berfungsi sebagai suatu neurotransmitter dan neuromudulator (Dewoto, 2011).
Secara kimia, histamin merupakan 2-(4-imidazoil) etilamin, didapatkan pada tanaman maupun jaringan hewan serta merupakan komponen dari beberapa racun dan sekret sengatan binatang (Dewoto, 2011).
Histamin disebut juga asam amino L-histidin dengan cara dekarboksilasi oleh enzim histidin dekarboksilase dan memerlukan piridoksal fosfat sebagai kofaktor (Dewoto, 2011).
Mekanisme kerja histamin yaitu dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat pada permukaan membran. Dewasa ini didapatkan 3 jenis reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan dengan protein G (Dewoto, 2011).
Reaksi antigen-antibodi umumnya berlangsung dengan tenang, artinya tanpa tanda-tanda luar yang dapat di kenal. Hipersensitif jenis segera dan menurut reaksi dibedakan atas:
-          Reaksi anafilaktik, yaitu di betuk terutama imunoglobulin tipe IgE (reagin). Antibodi IgE mempunyai kemampuan melekat pada permukaan sel mast atau granulosit basofil.
-          Reaksi sitotoksik, untuk reaksi jenis ini maka antibodi IgG dan IgM yang betanggung jawab. Di sa,ping itu sistem komplemen terlibat. Secara klinik reaksi sitotoksik kebanyakan dinyatakan melalui kerusakan sel-sel darah.
-          Reaksi yang di timbulkan oleh kompleks imun, ini terjadi apabila tebentuk kompleks imun antara antigen dan antibodi yang beredar dalam sistem sirkulasi maka dapat terjadi secara menyeluruh.
Histamin bekerja pada 2 reseptor berbeda yang disebut reseptor H1 dan H2. Stimulator reseptor H1 menimbulkan:
-          Vasokonstriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar.
-          Kontraksi otot bronchus, otot usus, otot uterus.
-          Kontraksi sel-sel endotel.
-          Kenaikan aliran limfa.
Stimulator reseptor H2 menyebabkan:
-          Dilatasi pembuluh paru-paru
-          Meningkatkan frekuensi jantiung dan kenaikan kontraktilitas jantung, serta
-          Kenaikan sekresi kelenjar, terutama dalam mukosa lambung
Stimulasi pada kedua jenis reseptor menyebabkan vasodilatasi arteriol dan pembuluh darah koronaria (Mutschler, 1991).

Pada otak reseptor H1 dan H2 terletak pada membran pascasinapsis sedangkan reseptor H3 terutama prasinapsis. Aktivitas reseptor H1 yang terdapat pada endotel dan sel otot polos menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, dan sekresi mukus (Dewoto, 2009).
Sebagian dari efek tersebut mungkin diperantai oleh peningkatan cGMP ( cyclic guanosine monophosphate) di dalam sel. Histamin juga berperan sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf pusat. Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung dan beberapa sel imun (Dewoto, 2009).
Aktivitas reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung, selain itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flusing. Histamin menstimulasi sekresi asalm lambung, meningkatkan kadar cAMP dan menutunkan kadar cGMP sedangkan antihistamin H2 menghambat efek tersebut (Dewoto, 2009).
Pada otot-otot polos bronkus aktivitas rseptor H1 histamin menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan aktivitas reseptor H2 oleh agonis reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi. Reseptor H2 berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai sistem organ (Dewoto, 2009).
Aktivitas reseptor H3 yang didapatkan dibeberapa daerah di otak mengurangi penglepasan transmitter baik histamin maupun norepineprin, seroronin dan asetilkolin. Meskipun agonis reseptor H3 berpotensi untuk digunakan antara lain sebagai gastroprotektif, dan digunakan sebagai antiobesitas. Sampai saat ini belum ada agonis maupun antagonis reseptor H3 yang diizinkan untuk digunakan di klinik (Dewoto, 2009).
EFEK HISTAMIN
a.       kardiovaskular, dilatasi kapiler
Efek histamin yang terpenting pada manusia adalah dilatasi kapiler. Dengan akibat kemerahan dan rasa panas di wajah, menurunnya resistesi perifer dan tekanan darah. Afinitas histamin terhadap reseptor H1 amat kuat, efek vasodilatasi cepat timbul dan berlangsung singkat. Sebaliknya pengaruh histamin tersebut terhadap reseptor H2 menyebabkan vasodilatasi yang timbul lebih lambat dan berlangsung lebih lama, akibatnya pemberian AH1 dosis kecil hanya dapat menghilangkan efek dilatasi oleh histamin dalam jumlah lebih besar dapat dihambat oleh AH1 dan AH2 (Dewoto, 2009).
b.      Permeabilitas kapiler
Histamin meningkatkan permeabilitas kapiler dan ini merupakan efek sekunder terhadap pembuluh darah kecil. Akibatnya protein dan cairan plasma keluar ke ruangan ekstrasel dan menimbulkan edema. Efek ini jelas disebabkan oleh peranan histamin terhadap reseptor H1 (Dewoto, 2009).
c.       Tripel respon
Bila histamin disuntikkan intradermal pada manusia akan timbul tiga tanda khas yang disebut tripel respon dari lewis, yaitu:
1.      Bercak merah setempat beberapa mm sekeliling tempat suntikan hal ini disebabkan dilatasi lokal kapiler, vena dan arteri terminal akibat efek langsung histamin. Daerah tersebut dalam satu menit menjadi kebiruan atau tidak jelas lagi karena adanya edema
2.      Flare yaitu berupa kemerahan yang lebih terang dengan bentuk yang tidak teratur dan menyebar ± 1-3 cm sekitar bercak awal. Ini disebabkan oleh dilatasi arteri yang berdekatan akibat refluks akson
3.      Edema setempat (wheal) yang dapat dilihat setelah 1-2 menit pada daerah bercak awal. Edema ini menunjukkan meningkatnya permeabilitas oleh histamin (Dewoto, 2009).
d.      Pembuluh darah besar
Histamin cenderung menyebabkan konstriksi pembuluh darah besar yang intensitasnya berbeda antar spesies. Pada binatang pengerat konstriksi juga terjadi pada pembuluh darah yang kecil, bahkan pada dosis yang besar vasokonstriksi menutupi efek vasodilatasi kapiler sehingga justru terjadi peningkatan resistensi perifer (Dewoto, 2009).
e.       Jantung
Histamin mempengaruhi langsung kontraktilitas dan elektrisitas jantung. Obat ini mempercepat depolarisasi diastol di nodus SA sehingga frekuensi denyut jantung meningkat. Histamin juga memperlambat konduksi AV, meningkatkan automatisitas jantung sehingga pada dosis tinggi dapat menyebabkan aritmia. Semua efek ini terjadi melalui perangsangan reseptor H1 dijantung, kecuali perlambatan konduksi AV yang terjadi lewat perangsangan reseptor H (Dewoto, 2009).
f.       Tekanan darah
Pada manusia dan beberapa spesies lain, dilatasi arteriol dan kapiler akibat histamin dosis sedang menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang kembali normal setelah terjadi refleks kompensasi atau setelah histamin dihancurkan. Bila dosis histamin sangat besar maka hipotensi tidak dapat diatasi dan dapat terjadi syok histamin (Dewoto, 2009).
g.      Otot polos non vaskular
Histamin merangsang atau menghambat kontraksi berbagai otot polos. Kontraksi otot polos. Kontraksi otot polos terjadi akibat aktivasi reseptor H1, sedangkan relaksasi otot polos sebagian besar akibat aktivasi reseptor H2. Histamin menyebabkan bronkokonstriksi pada marmut walaupun dengan dosis kecil, sebaliknya histamin menyebabkan relaksasi bronkus pada domba dan trakea kucing (Dewoto, 2009).
h.      Kelenjar ekokrin, kelenjar lambung
Histamin dalam dosis lebih rendah yang berpengaruh terhadap tekanan darah akan meningkatkan sekresi asam lambung. Pada manusia dosis menyebabkan pengeluaran pepsin dan faktor intrinsik castle bertambah sejalan dengan meningkatnya sekresi HCl. Ini akibatnya perangsangan langsung terhadap sel parietal melalui reseptor H2 (Dewoto, 2009).
i.        Kelenjar lain
Histamin meninggikan sekresi kelenjar liur, prankeas, bronkus dan air mata tetapi umunya efek ini lemah dan tidak tetap (Dewoto, 2009).
j.        Ujung saraf sensoris, nyeri dan gatal
Flare oleh histamindisebabkan oleh pengarunya pada ujung saraf yang menimbulkan refleks akson. Ini meupakan kerja histamin merangsang reseptor H1 diujung saraf sensoris (Dewoto, 2009).
k.      Medula agrenal dan ganglia
Selain merangsang ujung saraf sensoris, histamin dosis besar juga langsung merangsang sel kromafin medula adrenal dan sel ganglion otonom (Dewoto, 2009).
Aktivitas terpenting antihistamin adalah :
-          Kontraksi otot polos bronki, usus dan rahim
-          Vasodilatasi semua pembuluh dengan penurunan tekanan darah
-          Memperbesar permeabilitas kapiler untuk cairan dan protein dengan akibat udema dan pembengkakan mukosa
-          Hiperskresi ingus dan air mata, ludah, dahak dan air mata
-          Stimulasi ujung saraf dengan eritema dan gatal-gatal (Tjay, 2007)
Alergi merupakan reaktivitas khusus dari tuan rumah (host) terhadap suatu unsur eksogen yang timbul pada kontak kedua kali atau berikutnya. Mekanismenya yaitu bila suatu protein asing (antigen) masuk berulang kali kedalam darah, maka limfosit B akan membentuk antibodi dari tipe IgE. IgE ini disebut jugs resgin mengikat diri pada membran mast cell tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen yang sama atau mirip rumus bangunnya memasuku darah lagi maka IgE akan mengenali dan mengikat padanya. Hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibatnya pecahnya membran mast cell atau terjadi degranulasi mast cell (Tjay, 2007).
Sejumlah zat perantara dilepaskan yakni histamin, bersama serotonin, bradikinin dan asam arakidonat yang kemudian diubah menjadi prostaglandin. Zat-zat itu menarik makrofag dan neutrofil ke tempat infeksi untuk memusnahkan penyerbu. Selain itu juga mengakibatkan beberapa gejala antara lain: bronkokonstriksi, vasodilatasi dan pembengkakan jaringan terhadap reaksi sebagai masuknya antigen (Tjay, 2007).
Sistem imun bekerja untuk melindungi untuk melindungi tubuh dari infeksi oleh mikroorganisme, membantu proses penyembuhan dalam tubuh, dan membuang atau memperbaiki sel yang rusak apabila terjadi infeksi atau cedera (Crowin, 2009).
Terdapat lima imunoglobulin spesifik yang dibentuk dalam merespon terhadap antigen yaitu
a.       Imunoglubulin G
Imunoglubulin G adalah antibodi paling banyak ditemukan dan mencakup sekitar 80% dari semua imunoglobulin dalam darah. IgG adalah antibodi utama yang melintasi plasenta dari ibu kepada janinnya selama kehamilan. Kadar IgG meningkat secara lambat selama respon primer terhadap suatu antigen, tetapi meningkat secara tepat dan dengan kekuatan yang leebih besar pada pajanan kedua
b.      Imunoglubulin M
1munoglobulin M adalah jenis yang pertama kali dibentuk dan paling tinggi konsentrasinya sewaktu pajanan primer kepada suatu antigen. IgM adalah antibodi berukuran terbesar.
c.       Imunoglobulin A
Imunoglobulin A paling banyak terdapat dalam sekresi misalnya air liur, mukus vagina, aie susu, sekresi saluran cerna dan paru, dan semen. IgA lebih bekerja secara lokal daripada sistemik. IgA ibu disalurkan kepada bayinya sewaktu menyusui(seperti juga IgG dan IgM dalam jumlah yang lebih sedikit.
d.      Imunoglobulin E
Imunoglobulin E berperan dalam respon alergi. Imunoglobulin ini juga merupakan antibodi yang paling berstimulasi pada infeksi parasit.
e.       Imunoglobulin D
Imunoglobulin D terdapat dalam konsentrasi rendah dalam darah . perannya dalam respon imun tidak diketahui, meski diakui membantu proses pematangan dan deferensiasi semua sel B (Crowin, 2009).
Penyakit autoimun timbul bila tubuh memunculkan respon imun terhadap dirinya sendiri akibat kegagalan membedakan jaringan dan sel tubuh sendiri dengan antigen asing. Fenomena ini berasal dari aktifitas limfosit B dan T terhadap tubuh sendiri dan menimbulkan respon imun humoral dan respon imun berperantara sel yang di arahkan terhadap antigen sendiri. Konsekuensi patologik reaktifitas ini mendasari beberapa jenis penyakit autoimun. Penyakit autoimun sangatlah kompleks karena berurusan dengan ginetika MHC. Keadaan lingkungan entitas infeksius, dan disfungsi pengaturan imun. Contoh penyakitnya adalah arkthritis reumatoid, lupus, erite matosus sistemik, sklerosis multipel, dan dibetes mellitus bergantung insulin (Diabetes Tipe I) (Lake,2010).
Penyakit imunodefisiensi timbul akibat tidak adekuatnya fungsi sistem imun, konsekuensinya antara lain meningkatnya kepekaan terhadap infeksi (Lake,2010)
BAB IV
METODE PERCOBAAN

4.1 Alat
·         Timbangan hewan
·         Spuit 1 ml
·         Spuit 3 ml
·         Oral sonde
·         Beaker glass 50 ml
·         Stopwatch
·         Alat cukur
·         Spidol marker permanent
·         Kotak kaca
·         Kandang

4.2 Bahan
·         Ovalbumin
·         NaCl 0,9%
·         Evans blue
·         CTM
·         CMC Natrium

4.3  Prosedur Percobaan
1.      Satu minggu sebelum praktikum, tikus di timbang dan di tandai.
2.      Hewan di bagi dalam beberapa kelompok.
3.      Hewan di sensitisasi secara aktif dengan injeksi suspensi ovalbumin dalam NaCl 0,9%.      I  = 0,6 ml secara intraperitoneal
II = 0,1 ml secara intraplantar
III = 0,1 ml secara subcutan
4.      Pada hari praktikum, tikus yang sudah di sensitisasi di cukur bulu punggungnya lalu di tritmen dengan CTM dengan dosis 6 mg/kgBB dan larutan ekstrak dengan dosis 100 mg/kgBB dan dosis 150 mg/kgBB.
5.      Satu jam berikutnya, tikus di suntik dengan larutan evans blue sebanyak 0,2 ml, secara intravena melalui vena ekor.
6.      Tikus disuntikkan lagi dengan ovalbumin pada daerah sensitisasi awal secara subkutan sebanyak 0,3 ml.
7.      Dilakukan pengamatan dengan interval waktu 30, 60, dan 90 menit.
8.      Anafilaksis kutan aktif di tandai dengan munculnya benjolan yang berwarna biru pada area injeksi (punggung tikus).

























BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1  Hasil
No
Pengujian
Berat Tikus
Waktu Pengamatan
30
60
90
1
CMC 1% Kontrol Positif
188,3 g
0
0
0
2
CMC 1% Kontrol Negatif
196,7 g
0
2
2
3
Sediaan Uji Ekstrak Mimba 100 mg/kgBB
197,5 g
0
2
2
210,4 g
0
0
0
4
Sediaan Uji Ekstrak Mimba 150 mg/kgBB
251,5 g
2
2
2
143,20 g
2
4
4
5
Pembanding CTM 6 mg/kgBB
325,5 g
0
0
0
164,7 g
2
2
2

Keterangan:
0 = Tidak Berwarna (tidak ada)
2 = Sedikit Berwarna Biru (ringan)
4 = Warna Biru Terang (ringan)
6 = Warna Biru Gelap (Moderat >4)
8 = Bengkak dengan Warna Biru Gelap (Berat)





·           Kontrol CMC 1%  Kontrol Positif
-          Tikus 1 = 188,3 g
            Volume CMC yang disuntikkan (ml) = 1% x berat badan
                                                                        = 1% x 188,3 g
                                                                        = 1,883 ml

·           Kontrol CMC 1%  Kontrol Negatif
-          Tikus 2 = 196,7 g
            Volume CMC yang disuntikkan (ml) = 1% x berat badan
                                                                        = 1% x 196,7 g
                                                                        = 1,967 ml
                
·         Uji Ekstrak Mimba 1%, dosis 100 mg/kg BB
-          Tikus 3 = 197,5 g
Jumlah ekstrak (mg)    = 100 mg/kg BB  x  197,5 g
                                                1000
                                                = 19,75 mg
Konsentrasi ekstrak     = 1 %
                              1%             = 1 g/100 ml
                                                = 1 g x 1000 mg/100 ml
                                                = 10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang diberikan =    19,75 mg   = 1,975 ml =2 ml
                                                                           10 mg/ml

·         Uji Ekstrak Mimba 1%, dosis 100 mg/kg BB
-          Tikus 4 = 210,4 g
Jumlah ekstrak (mg)    = 100 mg/kg BB  x  210,4 g
                                                1000
                                                = 21,04 mg

Konsentrasi ekstrak     = 1 %
                              1%             = 1 g/100 ml
                                                = 1 g x 1000 mg/100 ml
                                                = 10 mg/ml
Jumlah larutan ekstrak yang diberikan = 21,04 mg   = 2,104 ml
                                                                            10 mg/ml
                
·         Uji Ekstrak Mimba 1%, dosis 150 mg/kg BB
-          Tikus 5 = 251,5 g
Jumlah ekstrak (mg)    = 150 mg/kg BB  x  251,5 g
                                                1000
                                                = 37,725 mg
Konsentrasi ekstrak     = 1 %
                              1%             = 1 g/100 ml
                                                = 1 g x 1000 mg/100 ml
                                                = 10 mg/ml
Jumlah larutan ekstrak yang diberikan =      37,725 mg   = 3,772 ml
                                                                                  10 mg/ml
                
·         Uji Ekstrak Mimba 1%, dosis 150 mg/kg BB
-          Tikus 6 = 143,2 g
Jumlah ekstrak (mg)    = 150 mg/kg BB  x  143,2 g
                                                1000
                                                = 21,48 mg
Konsentrasi ekstrak     = 1 %
                              1%             = 1 g/100 ml
                                                = 1 g x 1000 mg/100 ml
                                                = 10 mg/ml
Jumlah larutan ekstrak yang diberikan =      21,48  mg   = 2,148 ml
                                                                                  10 mg/ml
                
·         Pembanding CTM 1% dosis 6 mg/kgBB
-          Tikus 7 = 325,5 g
Jumlah obat (mg)        = 6 mg/kg BB  x  325,5 g
                                                1000
                                                = 1,953 mg
                 Konsentrasi obat     = 1 %
                              1%             = 1 g/100 ml
                                                = 1 g x 1000 mg/100 ml
                                                = 10 mg/ml
                 Jumlah larutan obat yang diberikan =  1,953 mg   = 0,953 ml
                                                                             10 mg/ml

Skala 1:100 =  0,1953   = 19,53 skala
                          0,01

·             Pembanding CTM 1% dosis 6 mg/kgBB
-          Tikus 8 = 164,7 g
Jumlah obat (mg)        = 6 mg/kg BB  x  164,7 g
                                                     1000
                                                = 0,9882 mg
                 Konsentrasi obat     = 1 %
                              1%             = 1 g/100 ml
                                                = 1 g x 1000 mg/100 ml
                                                = 10 mg/ml
                 Jumlah larutan obat yang diberikan =  0,9882 mg   = 0,0988 ml
                                                                             10 mg/ml

Skala 1:100 =  0,0988   = 9,882 skala
                          0,01


                                                   
5.2 Pembahasan
Dengan pemberian skor terhadap intensitas warna yang tampak pada punggung hewan uji kontrol positif pada menit ke 30 menunjukkan angka 0 yang berarti belum menampakkan reaksi alergi, pada menit ke 60 dan 90 skor 2 sedikit berwarna biru yang berarti menampakkan reaksi alergi ringan. Pada hewan uji kontrol negatif tidak menunjukkan reaksi alergi baik pada menit ke 30 sampai menit ke 90. Hal ini disebabkan karena pada kontrol uji positif diberikan ovalbumin secara subkutan sebanyak 0,3 ml sebagai antige/protein asing sedangkan kontrol negatif tidak diberikan injeksi ovalbumin.
 Hewan uji yang diberikan ekstrak daun mimba 1% 100 mg/kgBB berat badan masing-masing 197,5 gr menunjukkan skor 0 pada menit ke 30, 60 dan 90 yang berarti tidak terjadi reaksi alergi. Sedangkan hewan uji dengan berat badan 177,2 gr menunjukkan skor 2 pada menit ke 30, 60 dan 90 yang berarti terjadi reaksi alergi ringan. Hewan uji yang diberikan ekstrak daun mimba 1% 150 mg/kgBB dengan berat badan hewan uji 210,4 gr menunjukkan skor 2 pada menit ke 30 yang berarti terjadi reaksi alergi ringan dan pada menit ke 60 dan 90 menunjukkan angka 4 yang juga berarti terjadi reaksi alergi ringan. Pada Hewan uji yang diberikan ekstrak daun mimba 1% 150 mg/kgBB dengan berat badan hewan uji 143,2 gr menunjukkan skor 0 pada menit ke 30, 60 dan 90 yang berarti tidak terjadi reaksi alergi. Dari keempat hasil yang diperlihatkan hewan uji yang diberikan ekstrak daun mimba 1% 100mg/kgBB maka dikatakan bahwa ekstrak daun mimba mempunyai efek anti alergi terhadap hewan uji. Sedangkan pada hewan uji yang diberikan ekstrak daun mimba 1% 150mg/kgBB ekstrak daun mimba tidak menunjukkan efek antialergi, hal ini disebabkan karena adanya kesalahan praktikan pada saat pemberian ekstrak secara oral, dimana ekstraknya tidak masuk secara sempurna pada mulut hewan uji.
Hewan uji yang diberikan larutan CTM 1% 6 mg/kgBB dengan berat badan hewan uji 325,5 gr menunjukkan skor 0 pada menit ke 30,60 dan 90 yang berarti tidak terjadi reaksi alergi. Hal ini disebabkan karena CTM sebagai obat antialergi telah menghambat reaksi alergi yang umumnya terjadi. Sedangkan hewan uji dengan berat badan 164,7 gr menunjukkan skor 2 pada menit ke 30, 60 dan 90 yang berarti terjadi reaksi alergi. Pada hewan uji ini tidak menunjukkan adanya efek antialergi dengan pemberian larutan CTM, hal ini disebabkan oleh karena adanya kesalahan praktikan pada saat pemberian larutan CTM secara oral, dimana larutannya tidak masuk secara sempurna pada mulut hewan uji. ( Dewoto, 2011)



























BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1  Kesimpulan
1.    Pemberian larutan CTM (Chlor Tri Maleat) 1% 6 mg/KgBB pada hewan uji (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin memberikan efek antialergi.
2.    Ekstrak daun mimba 1% dengan dosis 100 mg/kgBB pada hewan uji (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin memberikan efek antialergi.
3.    Ekstrak daun mimba 1% dengan dosis 150 mg/kgBB pada hewan uji (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin memberikan efek antialergi.

6.2. Saran
1.     Diharapkan agar lebih hati-hati pada saat penyuntikan intravena di ekor tikus. Jarum suntik harus benar-benar masuk ke pembuluh vena dan dilakukan secara perlahan agar evansblue dapat mengalir sempurna ke seluruh tubuh tikus karena jika tidak pembuluh vena tikus akan pecah.
2.     Diharapkan agar lebih teliti saat pencukuran bulu punggung tikus agar tikus tidak terluka.













DAFTAR PUSTAKA
Crowin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi III. Jakarta: EGC
Dewoto, H. R. (2009). Histamin dan Anti Alergi. Dalam Buku: Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Editor Sulistia Gan Gunawan. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Gunawijaya, F. A. (2000). Manfaat Penggunaan Antihistamin Generasi Ketiga. FK Univ. Trisakti
Lake, D. F. dan Emmanuel, T. A. (2010). Imunofarmakologi. Dalam Buku: Farmakologi Dasar & Klinik. Editor Bertram G. Katzung. Jakarta: EGC
Mutschler, E, (1991). Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Bandung: Penerbit ITB
Sahat, S. (2007). Mekanisme Antihistamin Pada Pengobatan Penyakit Alergik: Blokade Reseptor Penghambatan Aktivasi Reseptor. Surabaya: FK Unair
Tjay, T. H dan Kirana R. (2007). Obat-Obat Penting Penggunaan dan efek-efek sampingnya Edisi V. Jakarta: PT Alex Medika Komputindo









Tidak ada komentar:

Posting Komentar