BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Imunitas adalah
kemampuan tubuh untuk menahan atau menghilangkan benda asing atau sel abnormal
yang berpotensi merugikan. Berikut ini adalah ulasan singkat yang membahas
tentang sistem imun; (1) mempertahankan tubuh dari patogen invasif
(mikroorganisme penyebab penyakit misalnya bakteri atau virus), (2)
menyingkirkan sel atau jaringan yang rusak oleh trauma atau penyakit, memudahkan
jalan untuk penyembuhan luka dan perbaikan jaringan, (3) mengenali dan
menghancurkan sel abnormal atau mutan yang berasal dari tubuh. (4) melakukan
respon imun yang tidak pada tempatnya yang meyebabkan alergi, yang terjadi
ketika tubuh melawan entitas kimiawi lingkungan yang normalnya tidak berbahaya,
atau menyebabkan penyakit otoimun (Sherwood, 2012).
Imunitas protektif
dihasilkan oleh kerja sama dua komponen sistem imun yang terpisah tetapi saling
bergantung yaitu sistem imun bawaaan dan sistem imun adaptif atau didapat.
Respon kedua sistem ini berbeda dalam waktu dan dalam selektivitas mekanisme
pertahanannya. Sistem imun bawaan mencakup repon imun nonspesifik tubuh yang
bereaksi segera setelah adanya suatu agen yang mengancam. Respon nonspesifik
ini adalah mekanisme pertahanan inheren (bawaan atau sudah ada) yang secara
nonselektif mempertahankan tubuh dari benda asing atau materi abnormal apapun
jenisnya, bahkan meskipun baru pertama kali terpapar. Respon ini merupakan lini
pertama pertahanan terhadap berbagai ancaman, termasuk agen infeksi, iritan
kimiawi dan cedera jaringan akibat trauma mekanis atau luka bakar. Semua orang
lahir dengan mekanisme respon imun bawaan yang pada hakikatnya sama, meskipun
mungkin terdapat sedikit perbedaan genetik (Sherwood, 2012).
Sistem
adaptif atau didapat sebaliknya mengandalkan respon imun spesifik yang secara
selektif menyerang benda asing tertentu yang tubuh pernah terpajan dan memiliki
kesempatan untuk mempersiapkan serangan yang secara khusus ditujukan kepada
musuh tersebut. Karena itu, sistem imun
adaptif memerlukan waktu cukup lama untuk menyerang dan mengalahkan musuh
spesifik (Sherwood, 2012).
1.2 Tujuan Percobaan
·
Untuk
mengetahui efek antialergi dari pemberian obat CTM sebagai obat antihistamin
pada hewan percobaan (tikus) yang telah disuntikkan ovalbumin.
·
Untuk
mengetahui aktivitas antialergi ekstrak daun mimba sebagai sediaan uji dengan
dosis 100 mg/kgBB dan 150 mg/kgBB pada hewan percobaan (tikus) yang telah
disuntikkan ovalbumin.
·
Untuk membedakan
aktivitas antialergi antara CTM dengan ekstrak daun mimba dengan dosis 100
mg/kgBB dan 150 mg/kgBB pada hewan percobaan (tikus) yang telah disuntikkan
ovalbumin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Dasar pertahanan tubuh
Untuk melawan
zat yang secara potensial mearusak atau pun untuk melawan mikroorganisme, tubuh
dilengkapi dengan mekanisme pertahanan spesifik dan non spesifik. Pada
mekanisme non spesifik, suatu zat asing dapat dibuat tak merusak walaupun tanpa
kontak sebelumnya. Sedangkan pada mekanisme spesifik, sebelumnya harus ada
kontak pertama, yang menyebabkan kontak dengan antibodi (Mutscher, 2006).
Imunitas adalah kemampuan tubuh
untuk menahan atau menghilangkan benda asing atau sel abnormal yang berpotensi
merugikan.
1.
Mempertahankan tubuh dari pathogen
invatif (mikroorganisme penyebab penyakit misalnya bakteri dan virus)
2.
Menyingkirkan sel yang “aus” dan
jaringan yang rusak oleh trauma atau penyakit, memudahkan jalan untuk
penyembuhan luka dan perbaikan jaringan
3.
Mengenali dan menghancurkan sel abnormal
atau mutan yang berasal dari tubuh
4.
Melakukan respon imun yang tidak pada
tempatnya yang menyebabkan alergi, yang terjadi ketik tubuh melawan entitas
kimiawi lingkungan yang normalnua tidak berbahaya, atau menyebabkan penyakit
otoimun, yang terjadi ketika sistem pertahanan secara salah menghasilkan
antibody terhadap tipe tertentu sel tubuh sendiri (Sherwood, 2009).
2.1.1
Pertahanan Humor Non Spesifik
Pada pertahanan
human non spesifik terhadap penyebab penyakit berperan sejumlah plasma.
Termasuk di sini terutama sistem komplemen, yang terdiri atas
Sembilan komponen serum yang dapat diaktifkan. Pengaktifan ini dapat dilakukan
oleh kompleks antigen-antibodi (cara klasik) dan dengan caara yang tidak
bergantung pada antibody (cara alternatif);
ini bereaksi dengan cara berurutan. Kemampuan biologik sistem komplemen
adalah dalam:
·
Pertahanan terhadap penyebab
·
Penghantar radang
·
Pengatur fungsi sel B
(Mutscher, 2006).
2.1.2 Pertahanan sel non spesifik
Kelompok
tertentu dari sel darah putih mampu melakukan gerakan antiboid dan fagositosis. Termasuk di sini adalah:
·
Granulosit neutrofil,
·
Granulosit eusinofil dan
·
Monosit
Kedua sel yang disebut pertama
disebut juga mikrofage. Peran mikrofage untuk pertahanan, jauh melampauin
fagositosis. Sel ini berperan juga pada tanggapan imunologik spesifik, pada
reaksi alergi serta pada pertahanan transplantat dan tumor (Mutscher, 2006).
2.1.3 Pertahanan humor spesifik
Jika
tubuh mengenali suatu zat yang diabsorpsi atau yang diberikan parenteral
sebagai zat asing (antigen), maka sel akan membentuk zat yang melawan antigen
tersebut yaitu antibodi. Di sini peran utama dilakukan oleh limfosit (Mutscher,
2006).
Antigen merupakan zat asing bagi
organisme, yang menimbulkan proses perlawanan imunogenik dalam darah dan
jaringan. Antigen ini akan membentuk ikatan reversible dengan antibody khusus
yang terbentuk untuknya. Hasilnya adalah suatu kompleks antigen-antibody (imun
kompleks). Antigen merupakan molekul besar (protein, karbohidrat dan
kadang-kadang juga lipid) dengan bobot molekul 10.000 dan mempunyai bagian
struktur yang berperan pada kespesifikan serologic (determinan) (Mustchler,
2006).
Antibodi (immunoglobulin) merupakan molekul yang
dihasilkan oleh limfosit B dan makrofag yang dirangsang oleh antigen asing
(Lantapi). Antibody terbentuk setelah antigen berkontak dengan sel yang
mempunyai kemampuan imunologik. Biasanya merupakan produk organisme yang
berkomplementer terhadap antigen dan spesifik terutama termasuk kelompok ᵞ-globulin.
Pembentukan antibodi oleh sel plasma, yang terbentuk setelah kontak antigen dan
berasal dari ᵝ-limfosit yang mengalami proliferasi dan diferensiasi (Mustchler,
2006).
Jenis
antibodi antara lain:
1.
Imunoglobulin G
Dapat
dianggap sebagai prototip immunoglobulin dan paling banyak diteliti. Dalam
plasma manusia kadar IgG lebih tinggi daripada kadar imunoglobulin lainnya.
Pada imunisasi pertama, IgG akan terbentuk setelah pembentukan IgM, akan tetapi
dalam jumlah yang lebih banyak. Karena IgG merupakan satu-satunya
immunoglobulin yang dapat melewati membran, maka ia dapat masuk ke sirkulasi
bayi yang dikandung dan di sana berfungsi sebagai pengeliminasi mikroorganisme.
Dengan demikian IgG akan memberikan perlindungan pada bayi pada bulan-bulan
pertama kelahiran (Mustchler, 2006).
2.
IgM
Merupakan antibody yang pertama kali
diproduksi sebagai respon imun terhadap antigen yang diikuti pengalihan ke
produksi IgG atau antibody kelas lain. Hal ini tergantung dari sinyal Th yang
memerlukan ikatan dengan ligan CD40 di permukaan sel T dan dengan CD40 di sel
B. Di samping itu, sitokin yang diproduksi sel T berpengaruh terhadap gen
region konstan yang menimbulkan pengalihan kelas (Lantapi).
3.
IgA
IgA mengkhususkan diri pada proses
pertahanan permukaan mukosa tubuh. Fungsinya adalah untuk mencegah penimbunan
dan masuknya penyebab penyakit serta zat antigen lain ke dalam selaput lendir.
IgA merupakan satu-satunya antibody yang dapat diekskresi, ditemukan dalam air
susu ibu (Mustchler, 2006).
4.
IgD
Terdapat di permukaan sel B tetapi
fungsinya belum diketahui (Sherwood, 2009)
5.
IgM
Berfungsi sebagai reseptor permukaan sel
B untuk mengikat antigen dan disekresi pada tahap-tahap awal respon sel plasma
(Sherwood, 2009).
2.2 Histamin
Histamin
merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin, banyak terdapat pada
tanaman dan binatang. Dalam organisme manusia terdapat dalam paru-paru, kulit
dan dalam saluran cerna. Histamin
terdapat dalam sel mast dan leukosit basofil dalam bentuk tak aktif secara
biologik dan disimpan terikat pada heparin dan protein basa. Histamin akan
dibebaskan dari sel-sel ini
·
Pada reaksi hipersensitivitas
·
Pada rusaknya sel (misalnya pada luka)
·
Akibat senyawa kimia (pembebas histamine
(Mustchler, 2006).
Histamin (suatu autocoid atau hormon lokal) adalah suatu amin nabati (bioamin) yang
ditemukan oleh dr. paul ehrlich (1878)
dan merupakan produk normal dari pertukaran zat histidin melalui dekarboksilasi enzimatis. Asam amino ini masuk ke
dalam tubuh terutama dalam daging (protein) yang kemudian di jaringan (juga di
usus halus) diubah secara enzimatis menjadi histamin (dekarboksilat) (Tjay
Hoan, 2007).
Terdapatnya hampir semua organ dan jaringan memiliki
histamin dalam keadaan terikat dan inaktif, yang terutama terdapat dalam
sel-sel tertentu. Mast cells ini (Ing. mast = menimbun) menyerupai bola-bola
kecil berupa gelembung yang penuh dengan histamine dan zat-zat mediator lain.
Sel-sel ini banyak ditemukan di bagian tubuh yang bersentuhan dengan dunia
luar, yakni kulit, mukosa dari mata, hidung saluran napas (bronchia, paru-paru)
dan usus, juga dalam lekosit basofil darah. Dalam keadaan bebas aktif juga
terdapat dalam darah dan otak, di mana histamine bekerja sebagai neurotransmitter. Di luar tubuh manusia histamine terdapat
dalam bakteri, tanaman (bayam, tomat) dan makanan (keju tua) (Tjay Hoan, 2007).
Histamin dapat dibebaskan dari mast-cells oleh
bermacam-macam factor, misalnya oleh suatu reaksi alergi (penggabungan
antigen-antibodi). Zat-zat kimia dengan daya membebaskan histamin (histamine
liberators) seperti racun ular dan tawon, enzim proteolis dan obat-obat
tertentu (morfin dan kodein, tubokurarin, klordiazepoksida) (Tjay Hoan, 2007).
Histamine memegang peran utama pada proses peradangan dan pada sistem daya-tangkis. Kerjanya berlangsung
melalui tiga jenis reseptor, yakni reseptor H1, H2, H3.
Reseptor H1 secara selektif diblok oleh antihistaminika (H1-blockers), reseptor H2 oleh
penghambat asam lambung (H2-blocker),
reseptor H3 memegang peranan pada regulasi tonus saraf simpatikus.
Aktifitas terpenting histamine adalah:
·
Kontraksi otot polos bronchi, usus dan
rahim;
·
Vasodilatasi semua pembuluh dengan
penurunan tekanan darah;
·
Membesarkan permeabilitas kapiler untuk
cairan dan protein, dengan adanya akibat udema dan pengembangan mukosa;
·
Hipersekresi ingus dan air mata, ludah,
dahak dan asam lambunng;
·
Stimulasi ujung saraf dengan eritema dan
gatal-gatal (Tan, 2007).
Dalam keadaan
normal, kadar histamine dalam darah hanya rendah, k.l 50 mcg/L, sehingga tidak
menimbulkan efek. Baru bila mast cells dirusak membrannya sebagai akibat dari
salah satu faktor tersebut di atas, maka dibebaskanlah banyak histamine
sehingga efek itu menjadi nyata. Setalah melakukan kegiaatannya, kelebihan histamine
diuraikan oleh enzim histaminases yang juga terdapat dalam jaringan (Tan,
2007).
Histamine bekerja pada 2 reseptor berbeda yang disebut reseptor H1, dan reseptor
H2. Stimulasi reseptor H1 menimbulkan:
·
Vasokontriksi pembuluh yang lebih besar,
·
Kontraksi otot bronchus, otot usus dan
otot uterus,
·
Kontraksi sel-sel endotel- ini sama
dengan sel-sel otot polos- dan dengan demikian ketelapan penula naik akibat pembesaran rongga-rongga
antar sel-sel endotel. Melalui rongga-rongga ini plasma dapat memasuki
jaringan, serta
·
Kenaikan aliran limfe (Mustchler, 2006).
·
Stimulasi reseptor H2
menyebabkan:
·
Dilatasi pembuluh paru-paru,
·
Meningkatkan frekuensi jantung dan
kenaikan kontraktilitas jantung, serta
·
Kenaikan sekresi kelenjar, terutama
dalam mukosa lambung
Stimulasi
pada kedua jenis reseptor menyebabkan:
· Vasodilatasi
arterior dan pembuluh darah koronaria (Mustchler, 2006).
Apabila histamin berhasil mencapai kulit, terjadi
pemerahan disertai rasa nyeri akibat pelebaran kapiler atau terjadi
pembengkakan yang gatal akibat kenaikan ketelapan kapiler. Histamine mempunyai
arti khusus pada reaksi alergi tipe
segera. Antigen yang terjadi bereaksi dengan anti body IgE yang terfiksasi
pada sel mast dan dengan demikian membebaskan histamine dari sel ini. Hal ini
dapat menimbulkan syok anafilaktik, urtikaria alergik atau
udem. Pada syok endotoksin, pada
peradangan dan kebakaran juga ditemui terjadinya degranulasasi sel-sel mast dan
kenaikan konsentrasi histamine dalam darah. Histamine digunakan untuk diagnosis
pada produksi asam klorida yang berkurang. Selama mukosa lambung masih mampu
membentuk asam klorida, mukosa ini dapat dirangsang oleh penyuntikan histamine
secara subkutan untuk membebaskan asam klorida. Apabila setelah penyuntikan
histamine pembebasan asam klorida berhenti maka disebut anasiditas histaminrefrakter (Mustchler, 2006).
2.3 Antihistamin
Antihistaminika adalah obat yang
mampu mengusir histamine secara kompetitif dari reseptornya dan dengan demikian
mampu miniadakan kerja histamine. Sesuai dengan kerjanya pada reseptor
histamine yang berbeda, dibedakan
·
Antihistaminika H1 dan
·
Antihistaminika H2
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi
efek histamine terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamine (penghambat
saingan). Antihistaminika dapat dibagi dua kelompok, yakni antaginis reseptor H1
(Singkatnya H1-blokers atau histaminika) dan antaginis reseptor H2
(H2-blokers atau zat penghambat asam) (Tan, 2007).
·
H1 (Antihistaminika klasik)
mengantagonir histamine dengan jalan memblok reseptor H1 di otot
licin dari dingding pembuluh, bronchi dan saluran cerna, kandung kemih dan
rahim. Begitu pula melawan efek histamin di kapiler dan ujung saraf (gatal,
flare reaktion). Efeknya adalah simtomatis, anti histaminika tidak dapat
menghindarkan reaksi alergi. Dahulu antihistaminika dibagi secaran kimiawi
dalam 7-8 kelompok, tetapi kini digunakan penggolongan dalam dua kelompok atas
dasar kerjanya terhadap SSP, yakni
Ø Generasi
ke-1: prometazin, osmetazin, tripelenamin, (klor) feniramin, difenhindramin,
klemastin (tavegil), siproheptadin (periactin), azelastin (allergodil),
sinarizin, meklozin, hidroksizin, ketotifen (Zaditen) dan oksatomida (tinset).
Obat-obat berhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan memiliki efek anti
kolinergis.
Ø Obat
generasi ke-2: astemijol, terfenadin, dan fenofenadin, akrivastin (semprex),
setiriji (loratidin), lefokabastin (livocab) dan emedastin (emadin). Zat-zat
ini bersifat hidrofil dan sukar mencapai CCS (Cairan cerebrospinal), maka pada
dosis terapeutis tidak bekerja sedatif. Keuntungan lainnya adalah plasmat1/2
yang lebih panjang, sehingga dosisnya cukup dengan 1-2 kali sehari. Efek
antialerginya selain berdasarkan khasiat antihistamin, juga berkat dayanya
menghambat sintetis mediator-radang, seperti prostaglandin, leukotrien dan
kinin (Tan, 2007).
Ø H2-blockes
(penghambat asam). Obat-obat ini menghambat secara selektif sekresi asam
lambung yang meningkat akibat histamine, dengan jalan persaingan terhadap
reseptor H2 di lambung. Efeknya adalah berkurangnya hipersekresi
asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah menurun. Senyawa
ini banyak digunakan pada terapi tukak lambung-usus guna mengurangi sekresi HCl
dan pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi dengan
kortikosteroida. Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan dalam
simetidin, ranitidine, famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan
senyawa-senyawa heterosiklis dari histamine (Tjay Hoan, 2007).
Kerja antihistaminika H1
meniadakan secara kompetitif kerja histamine pada reseptor H1
sebaliknya bahan-bahan aktif ini tidak mempengaruhi histamine lain yang
ditimbulkan akibat kerja pada reseptor H2. Hampir semua histaminika
H1 memiliki kerja spasmolitik dan anastetika lokal. Beberapa senyawa
bekerja juga simpatolitik (Mutschler, 2006).
Kinetika pada pemberian oral
kebanyakan antihistaminika H1, diabsopsi dengan cepat dan baik.
Indikasi antihistaminika ini pada semua penyakit, yang disebabkan oleh
pembebadan histamine, seperti misalnya pada urtikaria, Hay fever, udem Quincke,
serum-sickness, alergi obat, gigitan serangga. Indikasi lain adalah pruritus.
Pemakaian dan dosis umumnya pemberian secara oral atau lokal sudah cukup.
Besarnya dosis pada orang dewasa menurut
sediaan terletak antara 1mg dan 100 mg. Efek samping yang paling berpengaruh
adalah terhadap sistem saraf pusat. Interaksi kerja analgetika, hipnotika,
narkotika, psikofarmaka yang menekan pusat dan alkohol dapat diperkuat oleh
antihistaminika H1. Toksitas pada dosis toksis antihistaminika
menyebabkan keadaan terangsang, kejang-tonik-klonik serta sebagai akibat
kerja antikolinergik menyebabkan
midriasis, gangguan akomodasi dan gangguan miktion serta takhikardia dan
stenokardia. Kematian terjadi akibat kelumpuhan penapasan atau kegagalan
sirkulasi jantung (Mutscher, 2006).
·
Antihistaminika H2:
1.
Tritokualin (inhipostamin) bekerja tidak
pada reseptor histamine, melainkan menghambat dekarboksilase histidin. Dosis
tunggal 100-200 mg.
2.
Serotonin (5-hidroksitriptamin, 5-HT)
terdapat dalam sejumlah besar jaringan tanaman dan hewani. Kerja serotonin dari
sejumlah besar tempat kerja dihasilkan spectrum kerja 5-HT yang luar biasa kompleks.
Senyawa yang bekerja pada reseptor serotonin:
a) Agonis
Serotonin dalam
bentuk prazatnya (triptopan atau 5-hidrokstriptopan). Digunakan sebagai
antidepresiva.
b) Antagonis serotonin
Metisegrid
(deseril-retard), suatu antagonis pada reseptor 5-HT2 yang kuat
(dengan afinitas yang jelas juga pada reseptor 5-HT1) diindikasi
untuk profilaksis migrant serta pada sindrom karsinoid.
c) Senyawa
rangkaian asam arkhidonat (asam all-cis-5,8,11,14-eikosatetranat). Senyawa ini
hanya terdapat dalam jumlah kecil dalam keadaan bebas serta bagian terbesar
dibentuk menjadi fosfolipid membrane sel (Mutschler, 2006).
2.4 Daun Mimba
2.4.1
Senyawa Aktif Mimba
Daun mimba
merupakan daun majemuk yang tersusun saling berhadapan di petiol atau tangkai
daun. Bentuknya lonjong dengan tepi bergerigi. Ujung daun lancip, sedangkan
pangkal daun meruncing. Susunan tulang daun mimba menyiripBentuk daun mimba memiliki
kemiripan dengan daun mindi (Melia azedarach). Namun daun mindi memiliki
petiolus atau anak tangkai daun dan letak daun utamanya tersusun simetris.
Sementara itu helaian daun mimba tidak terbelah simetris (Setyani, 2012).
Daun Azadirachta
indica Juss mengandung senyawa-senyawa diantaranya adalah ß-sitosterol,
hyperoside, nimbolide, quercetin, quercitrin, rutin, azadirachtin, dan nimbine.
Beberapa diantaranya diungkapkan memiliki aktivitas antikanker. Daun Azadirachta
indica Juzz mengandung nimbin, nimbine, 6desacetylbimbine, nimbolide dan
quercetin. Khasiat nimba ini disebabkan oleh mimba menghasilkan beberapa
metabolit sekunder yang memiliki aktivitas biologis sebagai antiinflamasi,
antipiretik, antiarthritic, spermicidal, antifungi,
antibakterial, antimalarial, antitumor, antioksidan (Setyani, 2012).
Mimba, terutama dalam daunnya mengandung
beberapa komponen dari produksi metabolit sekunder yang diduga sangat
bermanfaat terutama dalam bidang farmasi (kosmetik dan obat obatan). Beberapa
diantaranya adalah azadirachtin, salanin, meliantriol, nimbin dan nimbidin.
Azadirachtin sendiri terdiri dari sekitar 17 komponen dan komponen yang
mana yang paling bertanggung jawab sebagai pestisida atau obat, belum jelas
diketahui. Azadirachtin merupakan molekul kimia C35H44O16 yang termasuk dalam
kelompok triterpenoid (Setyani, 2012).
Galic acid, epicatechin,
catechin bertanggung jawab untuk menghambat
generasi chemilumine oleh PMN sitoplasma manusia, menunjukkan bahwa senyawa ini
menghambat aktivitas PMN selama peradangan sedangkan Isomargolon dan NB-II pedoglikan yang terdapat
pada kulit batang mimba memiliki aktivitas biologis sebagai imunodulator (Setyani,
2012).
2.4.2
Khasiat Daun Mimba
Daun mimba mempunyai banyak sekali
manfaat, terutama dalam dunia kesehatan. Seiring dengan semakin berkembang
penggunaan tanaman obat dalam dunia kesehatan, keingintahuan masyarakat
terhadap khasiat dan manfaat tanaman obat semakin berkembang. Informasi yang
mendukung pemanfaatan daun mimba diperoleh juga dari negara tetangga yaitu
India. Di Indonesia, daun mimba sudah dicantumkan dalam buku resmi mengenai
obat dari bahan alam. Di beberapa negara seperti India, tanaman mimba digunakan
sebagai pencegah kehamilan karena terbukti dapat mematikan sperma. Begitu juga
artikel-artikel ilmiah terutama dari para penulis India telah banyak mengungkap
berbagai aktivitas farmakologi daun mimba misalnya sebagai antijamur,
antivirus, obat cacing, anti alergi, anti kanker baik in vitro maupun in vivo (Setyani,
2012).
Mimba, terutama dalam daunnya mengandung
beberapa komponen yang diduga sangat bermanfaat, baik dalam bidang pertanian
maupun farmasi (Setyani, 2012).
Mimba (Azadirachta indica juss)
yang memiliki kandungan senyawa azadirachtin, salanine, meliantriole,
nimbin, nimbolide, mahmodine, gallic acid, catechin, epicatechin,
margolone, margolonone, isomargolonone, cyclictrsulphide, cyclictetrasulphide
dan polisakarida bermanfaat sebagai antijamur, antimalaria, antibakteri,
antipiretik dan imunomodulator. Sampai saat ini bagian tanaman yang sering
digunakan sebagai obat tradisional adalah daun dan bijinya. Masyarakat juga
memanfaatkan khasiat mimba untuk mengobati berbagai macam penyakit, seperti
cacingan, kudis,malaria, infeksi jamur dan mengatasi alergi (Setyani, 2012).
2.4.3 Efek Imunologis Mimba
Efek imunologis mimba sudah dapat
diketahui dari beberapa penelitian yang telah dilakukan. Mimba dapat memodulasi
PMN, Limfosit, Monosit dan Makrofag
sehingga mempengaruhi aktivitas fagositosis. Dari hasil penelitian
tersebut diketahui mimba dapat memodulasi respon imunitas alami, seluler dan
humoral. Beberapa penelitian yang membuktikan efek imunomodulator mimba antara
lain dapat memodulasi respon imun seluler dan humoral pada mencit yang
diimunisasi dengan ovalbumin. Modulasi respon imun humoral tersebut meliputi
peningkatan level Ig G, Ig M, titer antibodi anti-ovalbumin (Setyani, 2012).
2.4.4 Efek Ekstrak Alkohol Daun Mimba terhadap Sistem Imun
Dalam ilmu kimia organik, alkohol atau
alkanol adalah istilah yang umum untuk senyawa organik yang memiliki gugus
hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon dimana atom karbon itu sendiri
juga terikat pada atom hidrogen atau atom karbon yang lain. Dalam istilah umum,
yang disebut alkohol adalah etanol atau grain alcohol. Etanol tidak
terlalu beracun karena tubuh dapat menguraikannya dengan cepat. Alkohol
digunakan secara luas dalam industri dan
ilmu pengetahuan sebagai pereaksi, pelarut, dan bahan bakar.
Etanol tidak terlalu
berbau karena tubuh dapat
mnguraikannya dengan tepat. Alkohol banyak digunakan sebagai pelarut. Potensi
daun mimba sebagai imunostimulator dibuktikan beberapa peneliti meliputi
respons imun humoral dan seluler , antara lain : fagositosis, ekspresi MHC (Major Histocompatibility Complex) klas I
dan II, produksi IFN γ, CD4, CD8, Th 1, TNF-a,
IFN γ, IL-1 ß. Berbagai penelitian menggunakan cara pengambilan sari dalam
tanaman mimba yang disebut ekstraksi.
Salah satu cara ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak dalam jumlah bahan aktif
yang optimal dengan menggunakan kombinasi etanol dan air (Setyani, 2012).
Mimba terbukti dapat memodulasi
aktivitas makrofag dalam innate respons yang telah terpapar oleh C
albicans (Dewanti, 2008). C al-bicans beserta produknya berinteraksi
dengan membran sel makrofag melalui sinyal CD14 dan TLR2, TLR4 yang bergantung
TRAF6 (TNF receptor-associated factor),selanjutnya akan mempengaruhi phospholipase. Aktivitas ini
mempengaruhi aktivitas I-κB yang berfungsi mengikat NF-κB. Setelah terjadi
pelepasan I-κB, maka terjadi peningkatan aktivitas faktor transkripsi NF-κB
yang menstimulasi ekspresi gen yang mempengaruhi produksi TNF-a dan aktivitas
fagositosis. Selanjutnya makrofag akan pecah, melepaskan isi
enzimatiknya ke dalam vakuola dan bercampur dengan candida yang
diingesti. Proses ini disebut degranulasi. Maturasi fagosom juga diikuti dengan
perubahan pH menjadi asam dan beraktivitas hidro litik dan disertai percepatan
respirasi yang mengakibatkan aktifnya molekul Oksigen Reaktif (ROI) dan NO
(Nitrit Oksida), selanjutnya menyebabkan pembunuhan mikroba. Aktivitas tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan aktivitas fagositosis. Aktivias makrofag
lainnya yaitu mengekspresikan sitokin TNF-a yang kemungkinan terjadi sesaat
kemudian dengan berlangsungnya inflamasi
semakin lama akan terjadi penurunan. Peningkatan reseptor Fc dan protein
membran mikroba akan memicu pelepasan ROI (Reactive Oxygen Intermediated),
sedangkan reseptor komplemen memicu fagositosis tanpa diikuti terjadinya superoxide
burst yang kuat oleh makrofag. Komponen yang berperan dalam proses
mikrobisidal dapat disekresikan ke dalam lingkungan makrofag, sehingga aktivasi
makrofag dapat menghasilkan efek mikrobisidal intraseluler maupun ekstraseluler
(Setyani, 2012).
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1
Alat
·
Timbangan hewan
·
Spuit 1 ml
·
Spuit 3 ml
·
Oral sonde
·
Beaker glass 50 ml
·
Stopwatch
·
Alat cukur
·
Spidol marker permanent
·
Kotak kaca
·
Kandang
3.2
Bahan
·
Ovalbumin
·
NaCl 0,9%
·
Evans blue
·
CTM
·
CMC Natrium
3.3
Pembuatan Larutan
·
Pembuatan CMC Na. 1%
1
gram CMC Na. ditaburkan di atas 20 ml air panas, kemudian didiamkan selama 15
menit hingga terbentuk massa yang transparan, lalu di aduk dan dicukupkan
volumenya hingga 100 ml.
·
Pembuatan suspensi ovalbumin 50% dalam
NaCl 0,9%
5
gram ovalbumin disuspensikan dengan 10 ml NaCl 0,9%.
·
Pembuatan CTM 1%
0,5 gram CTM
disuspensikan dengan 50 ml suspense CMC Na. 1%.
3.4
Prosedur Percobaan
1.
Satu minggu sebelum praktikum, tikus di
timbang dan di tandai.
2.
Hewan di bagi dalam beberapa kelompok.
3.
Hewan di sensitisasi secara aktif dengan
injeksi suspensi ovalbumin dalam NaCl 0,9%. I = 0,6 ml secara intraperitoneal
II = 0,1 ml secara intraplantar
III = 0,3 ml secara subcutan
4.
Pada hari praktikum, tikus yang sudah di
sensitisasi di cukur bulu punggungnya lalu di tritmen dengan CTM dengan dosis 6
mg/kgBB dan larutan ekstrak dengan dosis 100 mg/kgBB dan dosis 150 mg/kgBB.
5.
Satu jam berikutnya, tikus di suntik
dengan larutan evans blue sebanyak 0,2 ml, secara intravena melalui vena ekor.
6.
Tikus disuntikkan lagi dengan ovalbumin
pada daerah sensitisasi awal secara subkutan sebanyak 0,3 ml.
7.
Dilakukan pengamatan dengan interval
waktu 30, 60, dan 90 menit.
8.
Anafilaksis kutan aktif di tandai dengan
munculnya benjolan yang berwarna biru pada area injeksi (punggung tikus).
9.
Hasil pengamatandiberikan skor seperti
yang terdapat pada tabel berikut:
Intensitas Warna Pada Area:
|
Skor
|
Iritasi
|
Tidak berwarna
|
0
|
Tidak ada
|
Sedikit berwarna biru
|
2
|
Ringan
|
Warna biru terang
|
4
|
Ringan
|
Warna biru gelap
|
6
|
Moderat (>4)
|
Bengkak dengan warna biru gelap
|
8
|
Berat
|
3.5 Perhitungan dosis
- Pemberian CMC 1%
-
Tikus 1
= 262,9 g
Volume CMC yang diberi secara oral (ml) = 1% x berat badan
=
1% x 262,9
=
2,63 ml
-
Tikus 2
= 101,1 g
Volume CMC yang diberi secara oral (ml) = 1% x berat badan
=
1% x 101,1
=
1,01 ml
-
Tikus 3
= 194,4 g
Volume CMC yang diberi secara oral (ml) = 1% x berat badan
=
1% x 194,4
=
1,94 ml
-
Tikus 4
= 103,1 g
Volume CMC yang diberi secara oral (ml) = 1% x berat badan
=
1% x 103,1
=
1,03 ml
·
Pemberian
CTM 1 % dosis 6 mg/kg BB
-
Tikus 5 = 137,5 g
Jumlah
obat (mg) = 6 mg/kg BB x
137,5 g
1000
=
0.825 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 0,825 mg = 0.0825 ml
10 mg/ml
Jika skala dalam syringe 1 ml =
100 skala, maka
1 skala = 1 : 100
=
0,01 ml
Jadi, jumlah obat yang
diberikan dengan syringe 1 ml adalah
Jumlah larutan =
0.0825 ml = 8,25 skala
0,01 ml
-
Tikus 6 = 303,7 g
Jumlah
obat (mg) = 6 mg/kg BB x
303,7 g
1000
=
1.8222 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 1.8222 mg = 0,18222 ml
10 mg/ml
Jika skala dalam syringe 1 ml =
100 skala, maka
1 skala = 1 : 100
=
0,01 ml
Jadi, jumlah obat yang
diberikan dengan syringe 1 ml adalah
Jumlah larutan =
0,18222 ml = 18,22 skala
0,01 ml
-
Tikus 7 = 135,4 g
Jumlah
obat (mg) = 6 mg/kg BB x
135,4 g
1000
=
0,8124 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 0,8124 mg = 0,08124 ml
10 mg/ml
Jika skala dalam syringe 1 ml =
100 skala, maka
1 skala =
1 : 100
=
0,01 ml
Jadi, jumlah obat yang
diberikan dengan syringe 1 ml adalah
Jumlah larutan =
0,08124 ml = 8,124 skala
0,01 ml
-
Tikus 8 = 195,4 g
Jumlah
obat (mg) = 6 mg/kg BB x
195,4 g
1000
=
1,1724 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 1,1724 mg = 0, 11724 ml
10 mg/ml
Jika skala dalam syringe 1 ml =
100 skala, maka
1 skala = 1 : 100
=
0,01 ml
Jadi, jumlah obat yang
diberikan dengan syringe 1 ml adalah
Jumlah larutan =
0, 11724 ml = 11,72 skala
0,01 ml
·
Pemberian
Ekstrak mimba 1% dosis 100 mg/kg BB
-
Tikus 9 = 224,2 g
Jumlah
ekstrak = 100 mg/kg BB x
224,2 g
1000
=
22,42 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 22,42 mg = 2,24 ml
10 mg/ml
-
Tikus 10 = 230,6 g
Jumlah
ekstrak = 100 mg/kg BB x
230,6 g
1000
=
23,06 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 23,06 mg = 2,31 ml
10 mg/ml
-
Tikus 11 = 148,5 g
Jumlah
ekstrak = 100 mg/kg BB x
148,5 g
1000
=
14,85 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 14,85 mg = 1,49 ml
10 mg/ml
-
Tikus 12 = 237,6 g
Jumlah
ekstrak = 100 mg/kg BB x 237,6
g
1000
=
23,76 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 23,76 mg = 2,38 ml
10 mg/ml
·
Pemberian
Ekstrak mimba 1% dosis 150 mg/kg BB
-
Tikus 13 = 198,7 g
Jumlah
ekstrak = 150 mg/kg BB x
198,7 g
1000
=
29,81 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 29,81 mg = 2,98 ml
10 mg/ml
-
Tikus 14 = 248,1 g
Jumlah
ekstrak = 150mg/kg BB x
248,1 g
1000
=
37,22 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 37,22 mg = 3,72 ml
10 mg/ml
-
Tikus 15 = 188,2 g
Jumlah
ekstrak = 150 mg/kg BB x
188,2 g
1000
=
28,23 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 28,23 mg = 2,82 ml
10 mg/ml
-
Tikus 16 = 258,6 g
Jumlah
ekstrak = 150 mg/kg BB x
258,6 g
1000
=
38,79 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % =
1 g/100 ml
=
1 g x 1000 mg/100 ml
=
10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang
diberikan = 38,79 mg = 3,88 ml
10 mg/ml
BAB V
HASIL
DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Data Percobaan
No
|
Kelompok
|
Berat tikus (gram)
|
Waktu Pengamatan
|
||
30 menit
|
60 menit
|
90 menit
|
|||
1.
|
CMC 1%
|
262,9
|
0
|
0
|
0
|
101,1
|
0
|
2
|
4
|
||
194,4
|
0
|
2
|
2
|
||
103,1
|
0
|
4
|
4
|
||
2.
|
Uji ekstrak mimba 1% dosis 100 mg/kg BB
|
224,2
|
0
|
2
|
2
|
230,6
|
0
|
0
|
0
|
||
148,5
|
4
|
4
|
4
|
||
237,6
|
0
|
0
|
2
|
||
3.
|
Uji ekstrak mimba 1% dosis 150 mg/kg BB
|
198,7
|
2
|
2
|
2
|
248,1
|
0
|
0
|
2
|
||
188,2
|
0
|
0
|
0
|
||
258,6
|
0
|
0
|
0
|
||
4.
|
Uji CTM 0,1% dosis 6mg/kg BB
|
137,5
|
2
|
2
|
2
|
303,7
|
0
|
0
|
0
|
||
135,4
|
0
|
0
|
2
|
||
195,4
|
0
|
0
|
0
|
1.2 Pembahasan
Dari hasil yang didapat dengan pemberian CMC
1% sebagai kontrol positif pada mencit dengan BB= 262,9 g pada menit ke 30
sampai 90 tidak menunjukkan reaksi alergi. Pada hewan uji control negatif
dengan berat badan 101,1 g menunjukkan reaksi alergi ringan pada menit ke 60
dan reaksi alergi berat terjadi pada menit ke 90.
Menurut (Gunawan, 2011) reaksi antigen
antibodi menyebabkan kulit melepaskan histamine sehingga terjadi vasodilatasi,
gatal dan edema. Penglepasan histamine selama terjadinya reaksi antigen
antibodi telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti. Hipotesis yang menyatakan
bahwa histamin merupakan perantara terjadinya fenomena hipersensitivitas telah
mapan. Pada mamalia histamin menimbulkan anafilaksis, urtikaria, angiudema,
pruntus dan hipotensi.
Menurut literature (Setyani, 2012) , daun
mimba memiliki efek imunologis dimana daun ini mengandung isomargolon dan HB II
pedoglikan yang memiliki aktivitas biologis sebagai imunodulator
Hewan uji (tikus) dengan berat badan 230,6 g
yang diberikan ekstrak daun mimba 1%, dosis 100 mg/kgBB pada menit 30 sampai 60
tidak menunjukkan reaksi alergi. Sedangkan pada hewan uji dengan berat badan
148,5 pada menit 30 sampai 90 menunjukkan reaksi alergi berat. Hal ini tidak sesuai
dengan teori yang disebabkan dengan adanya human error, yaitu obat tidak
seluruhnya masuk ke dalam hewan percobaan dan pemberian ekstrak inidiberikan
secara oral dimana mengalami first pass metabolisme di hati sehingga jumlah
bahan obat yang menduduki reseptor semakin sedikit sehingga menghasilkan efek
yang tidak maksimal.
CTM merupakan golongan obat reseptor histamine
H1 yang bekerja dengan menduduki reseptor histamine sehingga
menghambat efek fisiologis histamin.
Pemberian CTM 1% dosis 6 mg/kgBB pada hewan
uji dengan BB=137,5 g pada menit ke 30 sampai 90 mengalami reaksi alergi
ringan. Sedangkan pada BB= 303,7 g menunjukkan angka 0 yang berarti tidak
terjadi reaksi alergi. Hal ini tidak sesuai dengan teori dikarenakan
kemungkinan adanya kesalahan pada praktikan misalnya pada pengambilan larutan
obat danya gelembung udara pada spuit sehingga dosis yang diberikan berkurang
dan menghasilkan efek yang tidak maksimal.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
-
Pemberian
larutan CTM (Chlor Tri Maleat) 1% 6 mg/KgBB pada hewan uji (tikus) yang telah
disuntikkan ovalbumin memberikan efek antialergi.
-
Ekstrak
daun mimba 1% dengan dosis 100 mg/kgBB dan 150 mg/kgBB memberikan efek
antialergi.
-
Efektifitas
antialaergi ekstrak daun mimba 1% dengan dosis 100mg/kgBB lebih rendah
dibandingkan dengan CTM 1% dengan dosis 6 mg/kgBB sedangkan efektifitas
antialergi ekstrak daun mimba 1% dengan dosis 150 mg/kgBB hamper sama dengan
CTM 1% dosis 6 mg/kgBB.
5.2 Saran
-
Sebaiknya pada percobaan selanjutnya digunakan obat antialergi yang
lain selain CTM misalnya Dipenhidramin HCl.
-
Sebaiknya pada percobaan selanjutnya menggunakan ekstrak daun nimba
sebagai antialergi dalam dosis lain.
-
Sebaiknya pada percobaan selanjutnya menggunakan hewan percobaan lain
seperti kelinci.
-
Sebaiknya pada percobaan selanjutnya menggunakan sediaan uji lain
selain ekstrak daun mimba seperti ekstrak legundi dan ekstrak mengkudu.
DAFTAR PUSTAKA
Setyani,
N. 2012. Jumlah Limfosit Pada
Mencit Yang Diberi Konsumsi Ekstrak alkohol Daun Mimba (Azadirachta Indica,
A. Juzz) dan Diinduksi Ovalbumin. [online]. Available at: <
http://dspace.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/4114/Skripsi.pdf?sequence=1>
[Acessed 1 April 2014].
Nurliyani,
dkk.2013. Respon Imun Mukosa Dan Selular
Pada Tikus Yg Diberi Bubuk Susu Kambing Dgn Infksi Salmonella Typhimurium. [online].
Available at: < http://journal.ipb.ac.id/index.php/jtip/article/view/6949/5496>
[Acessed 1 April 2014]
Putri,
F.M., dkk. 2013. Pengaruh Penambahan Spirulina
Sp. Dalam Pakan Buatan Thdp Jumlh Total Hemosit Dan Aktivitas Fagositosis Udang
Vaname (Litopenaeus Vanname). [online].
Available at: < http://portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=74457>
[Acessed
1 April 2014]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar