BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam merupakan gangguan kesehatan
yang hampir pernah dirasakan oleh setiap orang. Demam ditandai dengan kenaikan
suhu tubuh di atas suhu tubuh normal yaitu 36-37 C, yang diawali dengan kondisi
menggigil (kedinginan) pada saat peningkatan suhu, dan setelah itu terjadi
kemerahan pada permukaan kulit. Pengaturan suhu tubuh terdapat pada bagian otak
yang disebut hypothalamus, gangguan pada pusat pengaturan suhu tubuh ini lah
yang kemudian kita kenal dengan istilah demam (Amila, 2008).
Penyebab utama demam adalah infeksi oleh bakteri dan
virus, meskipun ada beberapa jenis demam yang tidak disebabkan oleh infeksi
melainkan oleh kondisi patologis lain seperti serangan jantung, tumor,
kerusakan jaringan yang disebabkan oleh sinar X, efek pembedahan dan respon
dari pemberian vaksin (Amila, 2008).
Demam pada dasarnya salah satu mekanisme pertahanan
tubuh dari infeksi oleh zat asing. Tetapi demam juga mengakibatkan kerusakan
sel-sel tubuh terutama sel-sel otak dan kerusakan ini tidak dapat diperbaiki.
Selain kerusakan sel otak, demam juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ
tubuh lain seperti hati dan ginjal, dimana kerusakan ini dapat menyebabkan
kematian. Pada peningkatan suhu yang terlalu tinggi (44-450C), demam
dapat menyebabkan kematian (Amila, 2008).
Pengobatan
antipiretik sekarang secara rutin diresepkan untuk demam. Antipiretik yang
paling umum digunakan adalah Nonsteroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDS) yang
juga memiliki efek analgetik. NSAID menghambat siklooksigenase (COX) sehingga konversi asam
arakidonat
menjadi prostaglandin
E2 menjadi terganggu. Penurunan prostaglandin
E2 di otak diyakini
untuk menurunkan set point hipotalamus (Rahul, 2013).
Salah satu obat NSAID adalah paracetamol. Paracetamol
merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah dan memiliki efek
anti inflamasi yang juga lemah. Penggunaan paracetamol dalam jangka waktu yang
terlalu lama dapat mengakibatkan nekrosis hati (Wilmana, 2011).
1.2 Tujuan Percobaan
·
Untuk mengamati efek dari 2,4 –
Dinitrofenol sebagai toksin terhadap terjadinya demam.
·
Untuk mengamati khasiat parasetamol
sebagai obat penurun panas
·
Untuk mengamati khasiat dari obat X
sebagai obat penurun panas.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Suhu
badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat
penghatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini
terganggu tetapi dapat dikembalikan ke keadaan normal oleh obat mirip aspirin.
Peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali pengelepasan suatu zat
pirogen endogen atau sitokin misalnya interleukin-1 (IL-1) yang memacu
pengelepasan prostaglandin yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Obat
mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis
prostaglandin. Demam yang timbul akibat pemberian prostaglandin tidak
dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu tubuh sebab lain misalnya latihan fisik
(Wilmana, 2011).
2.1
Pengaturan Suhu
Dalam
tubuh panas dihasilkan oleh gerakan otot, simulasi makanan, dan oleh semua
proses vital yang berperan dalam tingkat metabolisme basal. Panas dikeluarkan
oleh tubuh melalui radiasi, konduksi (hantaran) dan penguapan air disaluran
nafas dan kulit. Sejumlah kecil panas juga dikeluarkan melalui urin dan feses.
Keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas menentukan suhu tubuh.
Karena kecepatan reaksi-reaksi kimia bervariasi sesuai dengan suhu dan karena
sistem enzim dalam tubuh memiliki rentang suhu normal yang sempit agar
berfungsi optimal, fungsi tubuh normal bergantung pada suhu yang relatif
konstan (Ganong, 1997).
Pengaturan
suhu tubuh memerlukan keseimbangan yang akurat antara pembentukan dan hilangnya
panas, hipotalamus mengatur set point sehingga suhu tubuh dipertahankan. Saat
demam set point ini meningkat dan NSAID mendorongnya kembali ke keadaan normal.
Obat ini tidak mempengaruhi suhu tubuh jika suhu tubuh naik oleh faktor seperti
olahraga atau meningkatnya suhu lingkungan (Goodman, 2007).
2.2
Suhu Tubuh Normal
Berbagai
bagian tubuh memiliki suhu yang berlainan, dan besar perbedaan suhu antara
bagian-bagian tubuh dengan suhu lingkungan bervariasi. Suhu rektal dapat
mencerminkan suhu inti tubuh dan paling sedikit dipengaruhi oleh perubahan suhu
lingkungan. Suhu mulut dalam keadaan normal 0,5oC lebih rendah dari
suhu rektal tapi suhu ini dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk makanan atau
minuman panas atau dingin, mengunyah permen karet, merokok, dan bernafas
melalui mulut (Ganong,1997).
Suhu tubuh inti manusia mengalami
fluktuasi sirkadian teratur sebesar 0,5–0,7oC. Pada orang-orang
tidur malam hari dan terjaga pada siang hari,
suhu paling rendah pada pukul 6.00 pagi
dan tertinggi pada malam hari. Suhu paling rendah saat tidur, sedikit
lebih tinggi pada keadaan terjaga tetpi santai dan meningkat seiring dengan
aktivitas. Selain itub pada wanita terdapat variasi suhu bersiklus bulanan yang
ditandai dengan peningkatan suhu basal pada saat ovulasi. Pengaturan suhu
kurang ketat pada anak-anak dan dalam keadaan normal mereka mungkin mempunyai
suhu sekitar 0,50C lebih tinggi dari pada nilai normal dari orang
dewasa (Ganong, 1997).
Selama olahraga, panas yang dihasilkan
oleh kontraksi otot berakumulasi didalam tubuh, dan suhu rektal dalam keadan
normal meningkat sampai setinggi 400C (1040F).
Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh ketidakmampuan mekanisme pembuangan
panas untuk mengatasi pembentukan panas yang sangat besar, tetapi terdapat bukti
bahwa selain itu pada olahraga terjadi peningkatan suhu tubuh saat mekanisme
pembuangan panas diaktifkan. Suhu tubuh juga sedikit meningkat pada saat
perangsangan emosional, mungkin akibat penegangan otot yang tidak disadari.
Suhu ini secara kronis meningkat hampir sebesar 0,50C apabila taraf
metabolisme tinggi, seperti pada hipertirodisme, dan menurun apabila taraf
metabolisme rendah seperti pada hipotirodisme. Sebagian orang dewasa yang
normal memiliki suhu yang terus menerus di atas nilai normal (hipertermia
konstitusional) (Ganong, 1997).
2.3
Pembentukan Panas
Setiap
waktu, berbagai reaksi kimia dasar berperan membentuk panas tubuh. Asupan
makanan meningkatkan pembentukan panas karena aksi dinamik spesifik dari
makanan tetapi sumber utama panas adalah kontraksi otot rangka. Pembentukan
panas dapat berubah-ubah akibat pengaruh mekanisme endokrin walaupun tidak
terjadi asupan makanan atau gerakan otot. Epinefrin dan norefineprin
menyebabkan peningkatan pembentukan panas yang cepat tetapi singkat, hormon tiroid
menimbulkan peningkatan yang lambat tetapi berlangsung lama. Lebih lanjut,
impuls simpatis menurun selama puasa dan meningkat oleh makanan. Suatu sumber
panas yang sangat besar, terutama pada bayi, adalah lemak coklat. Lemak ini
memiliki tingkat metabolisme yang tinggi dan fungsi termogeniknya diibaratkan
sebagi selimut listrik (Ganong, 1997).
2.4
Pengeluaran Panas
Hantaran
adalah pertukaran panas antara objek atau bahan yang suhunya yang berbeda yang
berkontak satu sama lain. Sifat dasar suatu benda adalah bahwa
molekul-molekulnya selalu bergerak, dengan jumlah gerakan setara dengan suhu.
Molekul-molekul ini bertumbukan dengan molekul subjek lain yang suhunya lebih
dingin sehingga terjadi perpindahan energi ke molekul subjek tersebut. Jumlah
panas yang dikeluarkan setara dengan perbedaan suhu antara perbedaan suhu kedua
benda yang berkontak (gradien suhu). Hantaran dipermudah oleh konveksi,
pergerakan molekul menjauhi daerah kontak. Konveksi sangat meningkat apabila
benda tersebut bergerak di dalam medium atau medium berjalan melewati benda
misalnya orang berenang di dalam air atau kipas angin meniupkan udara di dalam
suatu ruangan. Radiasi adalah pemindahan panas melalui radiasi elektromagnetik
infra merah dari suatu benda ke benda lain dengan suhu berbeda dan keduanya
tidak berkontak. Perhatikan bahwa karena radiasi seseorang merasakan dingin
pada suatu ruangan yang dinding-dindingnya dingin walaupun ruangan tersebut
relatif hangat. Oleh karena itu konduksi terjadi dari permukaan satu benda ke
permukaan benda lain, suhu kulit sangat menentukan derajat pengeluaran atau
penambahan panas (Ganong, 1997)
Proses
utama lain dalam pemindahan panas dari tubuh manusia dan hewan lain yang
berkeringat adalah penguapan air pada kulit dan membran mukosa mulut serta saluran
nafas. Pada manusia, kehilangan atau pengeluaran air insensible ini sekitar 50
ml/jam, dengan demikian pengeluaran panas melalui penguapan air bervariasi dari
30 sampai lebih darin 900 kkal/jam sedangkan pada beberapa mamalia mengeluarkan panas dengan cara terengh-engah
(panting). Pernapasan yang cepat dan dangkal ini sangat meningkatkan jumlah
penguapan air di mulut dan saluran nafas sehingga meningkatkan pengeluaran
panas . konstribusi relatif setiap proses yang mengeluarkan panas dari tubuh sesuai
suhu lingkungan. Pada suhu 210C penguapan merupakan komponen minor
bagi manusia dalam keadaan istirahat. Apabila suhu lingkungan mendekati suhu
tubuh, pengeluaran panas melalui radiasi berkurang dan pengeluaran melalui
penguapan meningkat (Ganong, 1997).
2.5
Mekanisme Pengaturan Suhu
Respon-respon mencakup perubahan otonom,
somatik, endokrim dan perilaku. Secara umum, pajanan panas merangsang kelompok
respon pertama dan menghambat yang terakhir, sedangkan pajanan dingin
menyebabkan sebaliknya. “Menggulung tubuh” adalah reaksi terhadap dingin yang
sering dilakukan oleh hewan seperti yang juga dilakukan beberapa orang apabila
tidur di atas tempat tidur dingin. Menggulung tubuh menurunkan luas permukaan
tubuh yang terpajan lingkungan. Menggigil adalah respons involunter otot-otot
rangka, tetapi dingin juga menyebabkan peningkatan umum aktivitas motorik yang
setengah-disadari, misalnya menghentak-hentakkan kaki dan berjingkrak-jingkrak
di hari yang dingin. Peningkatan sekresi ketokelamin merupakan suatu respons
endokrin yang penting terhadap dingin
(Ganong, 1997).
Tikus yang tidak dapat membentuk
norepinefrin dan epinefrin karena gen pembentuk enzim dopamin
β-hidroksilase-nya telah diuraikan, tidak mampu menoleransi dingin,
vasokonstriksi pada tikus-tikus itu tidak sempurna dan mereka tidak dapat
meningkatkan termogenesis. Pada hewan percobaan, sekresi TSH meningkat akibat
dingin dan menurun akibat panas, tetapi pada orang dewasa normal perubahan
sekresi TSH yang diinduksi oleh dingin kecil dan kemaknaannya dipertanyakan.
Telah umum diketahui bahwa aktivitas berkurang selama cuaca panas untuk
bergerak, yaitu reaksi “terlalu panas untuk bergerak” (Ganong, 1997).
Penyesuaian termoregulatoris melibatkan
respon-respon lokal serta respon refleks yang lebih menyeluruh. Apabila
pembuluh-pembuluh darah kulit didinginkan, pembuluh-pembuluh tersebut jadi
lebih peka terhadap katekolamin dan arteriol serta venula mengalami konstriksi.
Efek lokal ini mengarahkan darah menjauhi kulit. Respon-respon refleks yang
diaktifkan oleh dingin dikendalikan dari hipotalamus posterior, sedangkan
respon-respon yang diaktifkan oleh panas dikendalikan oleh hipotalamus anterior
walaupun sebagian termoregulasi terhadap panas masih tetap terjadi setelah
diserebrasi pada tingkat rostral otak tengah. Rangsangan pada hipotalamus
anterior menyebabkan vasodilatasi kulit dan berkeringat. Rangsangan pada
hipotalamus posterior menyebabkan menggigil, dan suhu tubuh hewan yan
gmengalami lesi di hipotalamus posterior turun mendekati suhu lingkungan (Ganong,
1997).
2.6
Hipotalamus
Hipotalamus adalah area kecil otak yang
terletak di bagian otak depan yang disebut diensefalon. Hipotalamus adalah
organ saraf dan organ endokrin. Hipotalamus berkaitan dengan mempertahankan
homeostatis, yaitu mempe
Pertahankan
lingkungan internal tubuh tetap konstan. Hipotalamus juga sangat penting dalam
mengontrol perilaku dan memungkinkan respon yang tepat terhadap berbagai
stimulus yang datang. Hipotalamus secara terus menerus menerima informasi dari
sistem saraf pusat dan perifer mengenai suhu tubuh, nyeri, rasa nikmat,
pemberian makanan, rasa lapar, massa tubuh, dan status metabolik. Hipotalamus
juga menerima input dari hormon lain dalam tubuh dan menerima ekstensi saraf
dari area lain di otak (Corwin, 2007).
Hipotalamus secara berurutan berespon
terhadap semua stimulus yang datang dengan mengirim tonjolan saraf ke seluruh
otak dan dengan mensintesis serta mensekresi hormonnya sendiri. Badan sel saraf
di hipotalamus ventral mensintesis beberapa hormon dan mengirimnya ke tonjolan
akson untuk dilepaskan ke dalam darah dan disampaikan ke kelenjar hipofisis
anterior. Badan sel saraf lain di hipotalamus mensintesis hormon yang dikirim
ke bawah melalui tonjolan akson ke hipofisis posterior, tempat hormon tersebut
disimpan pada akhirnya dilepasksan ke dalam aliran darah (Corwin, 2007).
2.7
Aferen
Hipotalamus dikatakan mewujudkan suhu
tubuh yang terpadu sebagai respons terhadap informasi dari reseptor-reseptor
sensorik (terutama reseptor-reseptor dingin) di kulit, jaringan dalam, medula
spinalis, bagian ekstrahipotalamik otak, dan hipotalamus sendiri. Untuk setiap
respon utama pengaturan suhu terdapat suhu ambang, dan bila ambang tercapai,
respon mulai tercapai. Ambang suhu adalah 370C untuk berkeringat,
dan vasodilatasi 36,80C, untuk vasokonstriksi 360C, untuk
termogenesis tanpa menggigil dan 35,50C untuk menggigil
(Ganong,1997).
2.8
Demam
Demam
mungkin adalah tanda utama penyakit yang paling tua dan paling umum diketahui.
Demam terjadi tidak saja pada mamalia tetapi juga pada unggas, reptil, amfibi,
dan ikan. Peningkatan suhu pada hewan yang disuntik dengan suatu pirogen
sebagian besar disebabkan oleh peningkatan pembentukan panas apabila hewan
tersebut berada dilingkungan yang dingin dan penurunan pengeluaran panas
apabila berada dalam lingkungan yang hangat. Toksin dan bakteri misalnya
endotoksin bekerja pada monosit, makrofag, dan sel-sel Kupffer untuk
menghasilkan berbagai macam sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen (Eps)
(Ganong, 1997).
Demam
juga dapat disebabkan oleh infeksi atau salah satu akibat kerusakan jaringan,
peradangan, penolakan pencangkokan, adanya tumor ganas, atau keadaan penyakit
lain. Demam juga merupakan efek samping prostaglandin yang sering terjadi jika
diberikan kepada wanita sebagai zat pengaborsi. NSAID tidak mengambat demam
yang disebabkan oleh prostaglandin jika prostaglandin diberikan secara langsung
tetapi menghambat demam yang disebabkan oleh zat-zat yang meningkatkan sintesis
IL-1 dan sitokin lain seperti IL-1 β, IL-6, interferon alfa dan beta serta TNF
α, yang diduga menyebabkan demam paling tidak antara lain dengan menginduksi
sintesis prostaglandin endogen (Goodman, 2007).
Demam
yang ditimbulkan oleh sitokin mungkin disebabkan oleh pelepasan prostaglandin
lokal di hipotalamus. Penyuntikan prostaglandin ke dalam hipotalamus
menyebabkan demam. Selain itu, efek antipiretiki aspirin bekerja langsung pada
hipotalamus, dan aspirin menghambat sintesis prostaglandin. PGE2 adalah
salah satu prostaglandin yang menyebabkan demam. Manfaat demam bagi organisme
masih belum diketahui. Demam mungkin bermanfaat, karena timbul dan menetap
sebagai respon terhadap infeksi dan penyakit lain.banyak mikroorganisme tumbuh
baik dalam rentang suhu yang relatif sempit, dan peningkatan suhu akanakan
menghambat pertumbuhannya. Selain itu pembentukan antibodi meningkat apabila
suhu tubuh meningkat. Apabila suhu rektal melebihi 41oC (106oF)
dalam jangka waktu lama, akan terjadi kerusakan otak permanen. Apabila melebihi
43oC, timbul heat stroke dan
sering mematikan. Pada hipertemia maligna, terjadi mutasi gen yang mengkode
reseptor rianodinyang menyebabkan pelepasan Ca2+ berlebihan selama kontraksi otot yang
dicetuskan oleh stres. Peningkatan pembentukan panas menyebabkan peningkatan
mencolok suhu tubuh yang dapat berakibat fatal apabila tidak diobati (Ganong,
1997).
2.9
Hipotermia
Pada
mamamia yang melakukan hibernasi, suhu tubuh turun ke tingkat yang rendah tanpa
menimbulkan efek merugikan setelah hewan tersebut kembali terjaga. Pengamatan
ini mendorong eksperimen-eksperimen pada hipotermia induksi. Pada hewan yang
tidak melakukan hibernasi dan pada manusia, apabila kuliat atau darah
didinginkan sehingga suhu tubuh turun, proses-proses metabolik dan fisiologik
melambat. Pada suhu rekatal sekitar 28oC, kemampuan tubuh untuk
secara spontan mengembalikan suhu ke arah nomal menghilang, tetapi individu
tetap dapat bertahan hidup dan apabila dihangatkan kembali dengan panas
eksternal, ia kembali ke keadaan normal. Manusia dapat mentoleransi suhu tubuh
antara 21-24oC (70-75oF) tanpa efek merugikan yang
permanen, dan hipotermia induksi sudah banyak disunakan dalam pembedahan.
Dibawah keadaan hipotermia jantung dapat dihentikan dan dibuka serta dapat
dilakukan tindakan-tindakan lain, terutama operasi otak, yang tidak mungkin
dilakukan tanpa pendinginan. Sebaliknya, hipotermia yang timbul karena
pemajanan terhadap udara dingin atau air dingin yang diperpanjang merupakan
kondisi yang serius dan membutuhkan yang hati-hati dan penghangatan kembali
(Ganong, 1997).
2.10
Patofisiologi demam
Fungsi pengaturan adalah untuk memelihara
temperature pusat (suhu dalam bagian tubuh dan dalam kepala) tetap pada nilai
ambang rata-rata 370C walaupun terjadi kerja simpangan pembentukan
panas, penerimaan dan pengeluaran panas (Mutschler, 1999).
Nilai sebenarnya dicatat oleh reseptor suhu dalam
hipotalamus dan disampaikan ke pusat-pusat termoregulasi (pusat panas) yang
juga terletak dalam hipotalamus. Ini selanjutnya menerima implus-implus dari
reseptor dingin dan reseptor panas dari kulit dan dengan demikian dalam kondisi
untuk bereaksi dengan cepat terhadap beban panas dan dingin. Pada keadaan beban
panas (misalnya pada kerja jasmani), banyak panas dikeluarkan melalui
peningkatan pembentukan keringat dan melalui peningkatan aliran darah kulit.
Pada keadaan beban dingin, tidak hanya pembebasan panas ditekan (terutama
melalui vasokonstriksi perifer), tapi juga produksi panas ditingkatkan
(Mutschler, 1999).
Yang dimaksud dengan demam ialah regulasi panas pada
suatu tingkat suhu yang lebih tinggi. Demam adalah gejala yang menyertai hamper
semua infeksi, tapi juga terdapat pada penyakit-penyakit lain seperti beberapa
bentuk tumor. Bahan-bahan bakteri dan virus dapat menyebabkan demam yang
disebut demam pirogen eksogen. Pirogen eksogen tampaknya bekerja sebagai
berikut, pirogen mula-mula merangsang fagosit untuk membentuk pirogen tubuh
sendiri yang kemudian melalui peningkatan sintesis prostaglandin mengatur nilai
ambang suhu tubuh dalam pusat pengatur suhu ke suhu lebih tinggi. Segera setelah
pengaturan nilai ambang pada tingkat yang lebih tinggi, suhu tbuh normal 370C
bekerja sebagai suatu suhu pada keadaan dingin. Ini menyebabkan vasokonstriksik
pembuluh kulit, gemetar karena dingin dan rasa dingin yang subjektif. Pada penurunan
demam (kembali pada nilai ambang normal), suhu pusat sebaaliknya dirasakan
sebagai terlalu tinggi. Pengeluaran keringat, vasodilatasi pembuluh-pembuluh
darah di kulit dan rasa panas subjektif menandai fase penurunan demam
(Mutschler, 1999).
2.11
Analgetik-Antipiretik, Analgesik Anti-Inflamasi Non Steroid, dan Obat Gangguan
Sendi lainnya
Obat
analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan
salah satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep
dokter. Obat-obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen secara
kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam
efek terapi maupun efek samping (Wilmana, 2011).
2.11.1 Mekanisme Kerja AINS
Mekanisme
kerja obat ini berhubungan dengan sistem biosintesis prostaglandin. Produksi
prostaglandin akan meningkat bilamana sel mengalami kerusakan. Obat AINS secara
umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, malah pada beberapa orang
sintesis meningkat dan dikaitkan dengan reaksi hipersentivitas yang bukan
berdasarkan pembentukan antibiodi (Wilmana, 2011).
Golongan
obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat
menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat sikloogsigenase
dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda (Wilmana, 2011).
Enzim
siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform
tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya bersifat unik. Secara
garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi
normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di
mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat
sitoprotektif. Siklooksigenase-2 semula diduga diinduksi berbagai stimulus
inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth
factors). Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di
ginjal, jaringan vascular dan pada proses perbaikan jaringan. Tromboksn A2,
yang disintesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit,
vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin (PGI2)
yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan
menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti proferatif
(Wilmana, 2011).
Khusus
paracetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila
lingkungannya rendah kadar peroksid yaitu hipotalamus. Lokasi inflamasi
biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini
menjelaskan mengapa efek anti-infalamsi parasetamol praktis tidak ada.
Parasetamol diduga menghambat isoenzim COX-3, suatau variant dari COX-1. COX-3
ini hanya ada di otak (Wilmana, 2011).
Suhu
badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat pengatur
suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu
tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin. Ada bukti bahwa
peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan suatu zat
pirogen endogen atau sitokin misalnya interleukin-1 (IL-1) yang memacu
penglepasan prostaglandin yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus.
Selain itu PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah infuskan ke
ventrikel serebral atau disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip aaspirin
menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis prostaglandin.
Demam yang timbul akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian
pula peningkatan suhu oleh sebab lainnya misalnya latihan fisik (Wilmana,
2011).
2.11.2 Efek Farmakodinamik
Sebagai
antipiretik, obat mirip aspirin akan menurunkan suhu badab hanya pada keadaan
demam. Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek antipiretik in vitro,
tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena bersifat toksik bila digunakan
secara rutin atau terlalu lama. Ini berkaitan dengan hipotesis bahwa COX yang
ada di sentral otak terutama COX-3 diman hanya parasetamol dan beberapa obat
AINS lainnya dapat menghambat. Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak
dibenarkan digunakan sebagai antipiretik atas alasan tersebut (Wilamana, 2011).
Penghambatan
biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2, mendasari
gangguam homeostatis ginjal yang ditimbulkan oleh AINS. Pada orang normal
gangguan ini tidak banyak mempengaruhi fungsi ginjal. Tetapi pada pasien
hipovolemia, sirosis hepatis yang disertai asitesis dan pasien gagal jantung,
aliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomeruli akan berkurang, bahkan
dapat terjadi gagal ginjal akut. Penggunaan berlebihan AINS secara habitual
bertahun-bertahun dihubungkan dengan terjadinya nefropati analgesic. Nefropati
analgesik dengan ciri nefritis interstisial kronik dan nekrosis papilar
ginjal/klasifikasi dapat didiagnosis pada tiap tahap dengan CT scan tanpa media
kontras. Efek penggunaan analgesik habitual terhadap bentuk gangguan ginjal
lain belum jelas. Penggunaan AINS secara habitual perlu peringatan akan
kemungkinan terjadinya gangguan ginjal (Wilmana, 2011).
2.12 Para Amino Fenol
Derivat
para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen. Asetaminofen (parasetamol)
merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama. Efek
antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Fenazetin tidak digunakan lagi
dalam pengobatan karena penggunaanya dikaitkan dengan terjadinya analgesik
nefropati, anemia hemolitik dan mungkin kanker kandung kemih. Asetaminofen di
Indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat
bebas. Walau demikian, laporan kerusakan fatal hepar akibat takar lajak akut
perlu diperhatikan. Tetapi perlu diperhatikan pemakai maupun dokter bahwa efek
anti inflamasi parasetamol hamper tidak ada (Wilmana, 2011).
Efek
analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek
anti inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak digunakan
sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis
prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak
terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan
keseimbangab asam basa (Wilmana, 2011).
Parasetamol
diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi
dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam.
Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol
terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati.
Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian
kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami
hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan
methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal,
sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk
terkonjugasi (Willmans, 2011).
Masa
paruh parasetamol pada hari pertama keracunan merupakan petunjuk beratnya
keracunan. Masa paruh lebih dari 4 jam merupakan petunjuk akan terjadinya
nekrosis hati dan masa paruh lebih dari 12 jam meramalkan akan terjadinya koma
hepatic. Penentuan kadar parasetamol sesaat kurang peka untuk meramalkan
terjadinya kerusakan hati. Kerusakan ini tidak hanya disebabkan oleh
parasetamol, tetapi juga oleh radikal bebas, metabolit yang sangat reaktif yang
berikatan secara kovalen dengan makromolekul vital sel hati. Karena itu
hepatotoksisitas parasetamol meningkat pada pasien yang juga mendapat
barbiturate, antikonvulsi lain atau pada alkoholik yang kronis. Kerusakan yang
timbul berupa nekrosis sentrilobularis. N-asetilsistein cukup efektif bila
diberikan per oral 24 jam setelah minum dosis toksis parasetamol (Wilhana,
2011).
BAB
III
METODE
PERCOBAAN
3.1 Alat
- Termometer
rectal
- Timbangan
hewan
- Spuit
- Oral
sonde
- Alat
pencatat waktu
- Kotak
kaca
3.2 Bahan
-
Larutan NaOH 0,1 N
-
CMC
-
Paracetamol
-
Obat X
-
2,4 Dinitrofenol (DNF)
3.3 Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah tikus
3.4 Prosedur
Kerja
-
Diukur suhu tubuh tikus sebanyak tiga
kali dengan selang waktu 5 menit. Ditentukan temperature rata-rata (temperature
normal tikus T0 = 36-370C).
-
Tikus disuntikkan dengan larutan
2,4-Dinitrofenol secara intramuscular pada daerah dada, dengan dosis 5 mg/kgBB.
Dicatat perubahan suhu tubuh tikus setiap 5 menit selama 20 menit.
-
Setelah 20 menit, tikus diberi
parasetamol dengan dosis 45 mg/kgBB dan obat X dengan dosis 18 mg/kgBB. Tikus
lain diberi suspensi kosong secara per oral sebanyak volume suspensi
paracetamol sebagai control
-
Dicatat perubahan suhu tubuh tikus
setiap 5 menit selama 50 menit.
3.5 Perhitungan
Dosis
·
Tikus 1
- CMC
0,5% dosis 1% BB
BB
tikus = 222,12 g
CMC
0,5% = 1 g/100 ml x 222,12 g
=
2,2212 g/ml
Syringe
yang digunakan 1: 40 = 1: 0,025
Larutan
yang diambil =
- DNF
0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF
0,5% = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml
= 5 mg/ml
Dosis =
Jumlah
DNF =
=
0,22212 ml
Syringe
yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan
yang diambil =
·
Tikus 2
- CMC
0,5% dosis 1% BB
BB
tikus = 220,9 g
CMC
0,5% = 1 g/100 ml x 220,9 g
=
2,209 g/ml
Syringe
yang digunakan 1: 40 = 1: 0,025
Larutan
yang diambil =
- DNF
0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF
0,5% = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml
= 5 mg/ml
Dosis =
Jumlah
DNF =
=
0,2209 ml
Syringe
yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan
yang diambil =
·
Tikus 3
- Sirup
Paracetamol 0,5% dosis 45 mg/kgBB
BB tikus =
165,41 g
Paracetamol 0,5% = 0,5 g/100ml = 500 mg/100 ml
=
5 mg/ml
Dosis =
Jumlah larutan yang diambil =
- DNF
0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF
0,5% = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml
= 5 mg/ml
Dosis =
Jumlah
DNF =
=
0,165 ml
Syringe
yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan
yang diambil =
·
Tikus 4
- Sirup
Paracetamol 0,5% dosis 45 mg/kgBB
BB tikus =
144,6 g
Paracetamol 0,5% = 0,5 g/100ml = 500 mg/100 ml
=
5 mg/ml
Dosis =
Jumlah larutan yang diambil =
- DNF
0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF
0,5% = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml
= 5 mg/ml
Dosis =
Jumlah
DNF =
=
0,1446 ml
Syringe
yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan
yang diambil =
·
Tikus 5
- Sirup
Paracetamol 0,5% dosis 45 mg/kgBB
BB tikus =
190,8 g
Paracetamol 0,5% = 0,5 g/100ml = 500 mg/100 ml
=
5 mg/ml
Dosis =
Jumlah larutan yang diambil =
- DNF
0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF
0,5% = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml
= 5 mg/ml
Dosis =
Jumlah
DNF =
= 0,1908
ml
Syringe
yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan
yang diambil =
·
Tikus 6
- Suspensi
obat X 0,3% dosis 18 mg/kgBB
BB tikus =
98,8 g
Obat X 0,3% = 0,3 g/100ml = 300 mg/100 ml
=
3 mg/ml
Dosis =
Jumlah Obat X =
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil
=
- DNF
0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF 0,5% =
0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml = 5 mg/ml
Dosis =
Jumlah DNF =
=
0,0988 ml
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil
=
·
Tikus 7
- Suspensi
obat X 0,3% dosis 18 mg/kgBB
BB tikus =
74,6 g
Obat X 0,3% = 0,3 g/100ml = 300 mg/100 ml
=
3 mg/ml
Dosis =
Jumlah Obat X =
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil
=
- DNF
0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF 0,5% =
0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml = 5 mg/ml
Dosis =
Jumlah DNF =
=
0,1755 ml
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil
=
·
Tikus 8
- Suspensi
obat X 0,3% dosis 18 mg/kgBB
BB tikus =
175,5 g
Obat X 0,3% = 0,3 g/100ml = 300 mg/100 ml
=
3 mg/ml
Dosis =
Jumlah Obat X =
- DNF
0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF 0,5% =
0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml = 5 mg/ml
Dosis =
Jumlah DNF =
=
0,1755 ml
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil =
la
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
A. Suhu rata-rata tikus
No
|
Keterangan
|
Waktu (menit)
|
Suhu 0C
|
||
1
|
Tikus 1
(Aquadest)
|
5
|
35,9
|
36,8
|
|
10
|
35,0
|
36,9
|
|||
15
|
35,1
|
37,0
|
|||
Rata-rata
|
35,33
|
36,9
|
|||
2
|
Tikus 2
(Paracetamol)
|
5
|
37
|
36,2
|
37,0
|
10
|
36,6
|
36,5
|
38,3
|
||
15
|
36,7
|
37,0
|
36,6
|
||
Rata-rata
|
36,7
|
36,5
|
37,3
|
||
3
|
Tikus 3 (Obat X)
|
5
|
36
|
36,9
|
36,3
|
10
|
36
|
36,7
|
36,2
|
||
15
|
36
|
36,8
|
36,5
|
||
Rata-rata
|
36
|
36,8
|
36,3
|
B. Suhu setelah pemberian DNF
No
|
Keterangan
|
Waktu (menit)
|
Suhu (0C)
|
||
1
|
Tikus 1
(Aquadest)
|
5
|
35,0
|
37
|
|
10
|
35,9
|
36
|
|||
15
|
36,2
|
36,4
|
|||
20
|
36,5
|
36
|
|||
2
|
Tikus 2
(Paracetamol)
|
5
|
36,3
|
36,2
|
36,6
|
10
|
36,5
|
36,5
|
36,7
|
||
15
|
37,0
|
37
|
37,3
|
||
20
|
37,8
|
37,3
|
37,4
|
||
3
|
Tikus 3 (Obat X)
|
5
|
36,0
|
36,8
|
36,9
|
10
|
36,0
|
37,7
|
36,9
|
||
15
|
36,2
|
38,2
|
36,6
|
||
20
|
36,3
|
38,3
|
36,4
|
C. Suhu Setelah pemberian obat
No
|
Keterangan
|
Waktu (menit)
|
Suhu (oC)
|
||
1
|
Tikus 1
(Aquadest)
|
5
|
35,7
|
35,8
|
|
10
|
35,5
|
36
|
|||
15
|
36,3
|
36,8
|
|||
20
|
36,5
|
37
|
|||
25
|
36,7
|
37,2
|
|||
30
|
36,6
|
37,5
|
|||
35
|
36,6
|
36,6
|
|||
40
|
35,8
|
36,5
|
|||
45
|
35,8
|
36,2
|
|||
50
|
35,9
|
36,0
|
|||
2
|
Tikus 2
(Parasetamol)
|
5
|
37,2
|
36,9
|
37,2
|
10
|
37,0
|
36,5
|
36,6
|
||
15
|
36,7
|
36,1
|
36,9
|
||
20
|
37,1
|
35,8
|
37,1
|
||
25
|
37,0
|
36,8
|
36,7
|
||
30
|
36,8
|
36,2
|
36,4
|
||
35
|
36,5
|
35,7
|
36,4
|
||
40
|
36,6
|
35,5
|
36,3
|
||
45
|
36,2
|
35,5
|
36,3
|
||
50
|
35,8
|
35,5
|
36,3
|
||
3
|
Tikus 3 (Obat X)
|
5
|
35,7
|
37,0
|
36,9
|
10
|
35,7
|
36,4
|
36,9
|
||
15
|
36,1
|
36,2
|
36,6
|
||
20
|
36,3
|
36,3
|
36,4
|
||
25
|
35,6
|
36,4
|
36,2
|
||
30
|
36,1
|
36,2
|
36,1
|
||
35
|
36,1
|
36,4
|
36,8
|
||
40
|
36,1
|
36,5
|
37,7
|
||
45
|
36,4
|
36,7
|
36,5
|
||
50
|
36,4
|
36,5
|
36,0
|
4.2 Pembahasan
Berdasarkan
data hasil percobaan diatas, diketahui bahwa tikus 1 sebagai kontrol, setelah
pemberian 2,4 dinitrofenol mengalami kenaikan suhu tubuh menjadi 36,50C
dari suhu rata-rata 35,30C. Setelah pemberian kontrol CMC terjadi
penurunan suhu tubuh pada menit ke-40 menjadi 35,70C tetapi
mengalami kenaikan lagi pada menit ke-50 sampai menit ke-70 menjadi 36,60C
dan segera mengalami penurunan di menit ke-75 menjadi 35,80C dan di
menit ke-85 menjadi 35,90C.
Tikus
2 sebagai kontrol, setelah pemberian 2,4 dinitrofenol mengalami kenaikan suhu
tubuh menjadi 370C dari suhu rata-rata 36,90C. Setelah
pemberian kontrol CMC terjadi penurunan suhu tubuh pada menit ke-40 menjadi
35,80C tetapi mengalami kenaikan lagi pada menit ke-50 sampai menit
ke-70 menjadi 37,50C dan segera mengalami penurunan di menit ke-75
sampai menit ke-85 menjadi 36,00C.
Tikus
3, 4 dan 5 sebagai kelompok uji setelah pemberian 2,4 dinitrifenol mengalami
kenaikan suhu tubuh dari suhu rata-rata. Setelah pemberian paracetamol terjadi
penurunan suhu tubuh tetapi mengalami kenaikan suhu tubuh pada menit ke-55
untuk tikus 3 dan tikus 5, pada menit ke-60 untuk tikus 4.
Tikus
6,7 dan 8 sebagai kelompok pembanding setelah pemberian 2,4 dinitrofenol
mengalami kenaikan suhu tubuh dari suhu rata-rata. Setelah pemberian obat X
terjadi penurunan suhu tubuh tetapi mengalami kenaikan suhu tubuh pada menit
ke-80 untuk tikus 6 dan tikus 7, pada menit ke-75 untuk tikus 8.
Kenaikan
suhu tubuh tikus yang tiba-tiba dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan
diantaranya aktivitas fisik, stress, suhu kamar dan kelembaban yang tinggi
(Anonim, 2009).
Pemberian
obat X dan parasetamol pada hewan uji (tikus) ternyata efektif untuk menurunkan
panas. Hal ini dapat dilihat pada akhir pengamatan, suhu tubuh tikus sudah
kembali pada suhu normalnya.
Demam merupakan gangguan kesehatan
yang hampir pernah dirasakan oleh setiap orang. Demam ditandai dengan kenaikan
suhu tubuh di atas suhu tubuh normal yaitu 36-37 C, yang diawali dengan kondisi
menggigil (kedinginan) pada saat peningkatan suhu, dan setelah itu terjadi
kemerahan pada permukaan kulit (Amila, 2008).
Secara farmakologi 2,4-dinitrofenol
bekerja meningkatkan laju metabolisme dan suhu tubuh. Peningkatan metabolisme
yang tinggi berhubungan erat dengan produksi panas sehingga panas yang terjadi
melebihi kapasitas panas, yang tidak diimbangi dengan pengeluaran panas yang
dapat menyebabkan hipertermia (Widariza, 2009).
Obat x yang digunakan pada percobaan
ini adalah ibuprofen. Ibuprofen termasuk salah satu dari golongan obat
antiinflamasi non steroid (AINS) yang banyak digunakan sebagai analgesik,
antiinflamasi dan antipiretik. Ibuprofen dosis rendah sama efektifnya dengan
aspirin dan parasetamol untuk indikasi sebagai antipiretik (Sofwan, 2013).
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
·
Pemberian 2,4-dinitrofenol pada hewan
uji (tikus) menyebabkan peningkatan suhu tubuh tikus dari suhu tubuh normalnya.
·
Pemberian parasetamol dan obat X pada
tikus menyebabkan penurunan suhu tubuh tikus yang telah diinduksi dengan
2,4-dinitrofenol.
·
Obat X yang dimaksud adalah Ibuprofen.
5.2
Saran
·
Sebaiknya pada percobaan selanjutnya
digunakan obat antipiretik lain sebagai pembanding seperti asam mefenamat.
·
Sebaiknya pada percobaan selanjutnya
mengguna hewan percobaan lain seperti merpati.
·
Sebaiknya digunakan bahan penginduksi
demam yang lain, seperti peptone.
DAFTAR
PUSTAKA
Amila.
2008. Uji Efek Antipiretik Jus Jeruk
Nipis pada Tikus Putih
Galur Sprague Dawley Sel kelamin. [online]. Available at: <https://www.academia.edu/3239020/Uji_Efek_Antipiretik_Jus_Jeruk_Nipis_pada_Tikus_Putih_Galur_Sprague_Dawley_Sel_kelamin>
[Acessed 25 April 2014]
Corwin, E.J. 2007.
Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Ganong,
W.F. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta
: EGC
Goodman. 2007. Dasar
Farmakologi Terapi Vol 1 Edisi 10.
Jakarta: EGC
Mutschler,
E. 1999. Dinamika Obat Edisi Kelima.
Bandung : Penerbit ITB
Rahul. 2013. Evaluation Of Efficacy And Tolerability Of Acetaminophen
(Paracetamol) And Mefenamic Acid As
Antipyretic In Pediatric Patients With Febrile Illness: A Comparative Study. [online]. Available at: <http://ijmrhs.com/wp-content/uploads/2013/01/Rahul-et-al.pdf> [Acessed 25 April 2014]
Sofwan, A.G. 2013. Pengaruh Ibuprofen
Nanopartikel Terhadap Disolusi, Bioavailabilitas dan efek analgetik secara in
vivo. [online]. Available at: <http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/35575> [Acessed 25 April 2014]
Widariza, D. 2009. Pengaruh Pemberian
Vitamin C Terhadap Efek Antipiretik dari Asetosal Baku, Asetosal Generik dan
Merek Dagang pada Merpati Jantan. [online]. Available at: <http://
repository.usu.ac.id/bitstr89/14310/1/09E02826.pdf> [Acessed 25 April 2014]
Wilmana,
P.F. 2011. Analgesik-Antipiretik,
Analgesik-Anti inflamasi Nonsteroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam
Buku: Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Editor: Sulistia Gan Gunawan. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
terimakasih ya atas makalahnya, sangat bermanfaat. Salam blogger
BalasHapus