Senin, 14 Juli 2014

Praktikum Antipiretik



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Demam merupakan gangguan kesehatan yang hampir pernah dirasakan oleh setiap orang. Demam ditandai dengan kenaikan suhu tubuh di atas suhu tubuh normal yaitu 36-37 C, yang diawali dengan kondisi menggigil (kedinginan) pada saat peningkatan suhu, dan setelah itu terjadi kemerahan pada permukaan kulit. Pengaturan suhu tubuh terdapat pada bagian otak yang disebut hypothalamus, gangguan pada pusat pengaturan suhu tubuh ini lah yang kemudian kita kenal dengan istilah demam (Amila, 2008).
Penyebab utama demam adalah infeksi oleh bakteri dan virus, meskipun ada beberapa jenis demam yang tidak disebabkan oleh infeksi melainkan oleh kondisi patologis lain seperti serangan jantung, tumor, kerusakan jaringan yang disebabkan oleh sinar X, efek pembedahan dan respon dari pemberian vaksin (Amila, 2008).
Demam pada dasarnya salah satu mekanisme pertahanan tubuh dari infeksi oleh zat asing. Tetapi demam juga mengakibatkan kerusakan sel-sel tubuh terutama sel-sel otak dan kerusakan ini tidak dapat diperbaiki. Selain kerusakan sel otak, demam juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ tubuh lain seperti hati dan ginjal, dimana kerusakan ini dapat menyebabkan kematian. Pada peningkatan suhu yang terlalu tinggi (44-450C), demam dapat menyebabkan kematian (Amila, 2008).
 Pengobatan antipiretik sekarang secara rutin diresepkan untuk demam. Antipiretik yang paling umum digunakan adalah Nonsteroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDS) yang juga memiliki efek analgetik. NSAID menghambat siklooksigenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 menjadi terganggu. Penurunan prostaglandin E2 di otak diyakini untuk menurunkan set point hipotalamus (Rahul, 2013).
Salah satu obat NSAID adalah paracetamol. Paracetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah dan memiliki efek anti inflamasi yang juga lemah. Penggunaan paracetamol dalam jangka waktu yang terlalu lama dapat mengakibatkan nekrosis hati (Wilmana, 2011).
1.2  Tujuan Percobaan
·         Untuk mengamati efek dari 2,4 – Dinitrofenol sebagai toksin terhadap terjadinya demam.
·         Untuk mengamati khasiat parasetamol sebagai obat penurun panas
·         Untuk mengamati khasiat dari obat X sebagai obat penurun panas.





 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat penghatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke keadaan normal oleh obat mirip aspirin. Peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali pengelepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin misalnya interleukin-1 (IL-1) yang memacu pengelepasan prostaglandin yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis prostaglandin. Demam yang timbul akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu tubuh sebab lain misalnya latihan fisik (Wilmana, 2011).
2.1 Pengaturan Suhu
Dalam tubuh panas dihasilkan oleh gerakan otot, simulasi makanan, dan oleh semua proses vital yang berperan dalam tingkat metabolisme basal. Panas dikeluarkan oleh tubuh melalui radiasi, konduksi (hantaran) dan penguapan air disaluran nafas dan kulit. Sejumlah kecil panas juga dikeluarkan melalui urin dan feses. Keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas menentukan suhu tubuh. Karena kecepatan reaksi-reaksi kimia bervariasi sesuai dengan suhu dan karena sistem enzim dalam tubuh memiliki rentang suhu normal yang sempit agar berfungsi optimal, fungsi tubuh normal bergantung pada suhu yang relatif konstan (Ganong, 1997).
Pengaturan suhu tubuh memerlukan keseimbangan yang akurat antara pembentukan dan hilangnya panas, hipotalamus mengatur set point sehingga suhu tubuh dipertahankan. Saat demam set point ini meningkat dan NSAID mendorongnya kembali ke keadaan normal. Obat ini tidak mempengaruhi suhu tubuh jika suhu tubuh naik oleh faktor seperti olahraga atau meningkatnya suhu lingkungan (Goodman, 2007).
2.2 Suhu Tubuh Normal
      Berbagai bagian tubuh memiliki suhu yang berlainan, dan besar perbedaan suhu antara bagian-bagian tubuh dengan suhu lingkungan bervariasi. Suhu rektal dapat mencerminkan suhu inti tubuh dan paling sedikit dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan. Suhu mulut dalam keadaan normal 0,5oC lebih rendah dari suhu rektal tapi suhu ini dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk makanan atau minuman panas atau dingin, mengunyah permen karet, merokok, dan bernafas melalui mulut (Ganong,1997).
      Suhu tubuh inti manusia mengalami fluktuasi sirkadian teratur sebesar 0,5–0,7oC. Pada orang-orang tidur malam hari dan terjaga pada siang hari,  suhu paling rendah pada pukul 6.00 pagi  dan tertinggi pada malam hari. Suhu paling rendah saat tidur, sedikit lebih tinggi pada keadaan terjaga tetpi santai dan meningkat seiring dengan aktivitas. Selain itub pada wanita terdapat variasi suhu bersiklus bulanan yang ditandai dengan peningkatan suhu basal pada saat ovulasi. Pengaturan suhu kurang ketat pada anak-anak dan dalam keadaan normal mereka mungkin mempunyai suhu sekitar 0,50C lebih tinggi dari pada nilai normal dari orang dewasa (Ganong, 1997).
      Selama olahraga, panas yang dihasilkan oleh kontraksi otot berakumulasi didalam tubuh, dan suhu rektal dalam keadan normal meningkat sampai setinggi 400C (1040F). Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh ketidakmampuan mekanisme pembuangan panas untuk mengatasi pembentukan panas yang sangat besar, tetapi terdapat bukti bahwa selain itu pada olahraga terjadi peningkatan suhu tubuh saat mekanisme pembuangan panas diaktifkan. Suhu tubuh juga sedikit meningkat pada saat perangsangan emosional, mungkin akibat penegangan otot yang tidak disadari. Suhu ini secara kronis meningkat hampir sebesar 0,50C apabila taraf metabolisme tinggi, seperti pada hipertirodisme, dan menurun apabila taraf metabolisme rendah seperti pada hipotirodisme. Sebagian orang dewasa yang normal memiliki suhu yang terus menerus di atas nilai normal (hipertermia konstitusional) (Ganong, 1997).
2.3 Pembentukan Panas
Setiap waktu, berbagai reaksi kimia dasar berperan membentuk panas tubuh. Asupan makanan meningkatkan pembentukan panas karena aksi dinamik spesifik dari makanan tetapi sumber utama panas adalah kontraksi otot rangka. Pembentukan panas dapat berubah-ubah akibat pengaruh mekanisme endokrin walaupun tidak terjadi asupan makanan atau gerakan otot. Epinefrin dan norefineprin menyebabkan peningkatan pembentukan panas yang cepat tetapi singkat, hormon tiroid menimbulkan peningkatan yang lambat tetapi berlangsung lama. Lebih lanjut, impuls simpatis menurun selama puasa dan meningkat oleh makanan. Suatu sumber panas yang sangat besar, terutama pada bayi, adalah lemak coklat. Lemak ini memiliki tingkat metabolisme yang tinggi dan fungsi termogeniknya diibaratkan sebagi selimut listrik (Ganong, 1997).
2.4 Pengeluaran Panas
Hantaran adalah pertukaran panas antara objek atau bahan yang suhunya yang berbeda yang berkontak satu sama lain. Sifat dasar suatu benda adalah bahwa molekul-molekulnya selalu bergerak, dengan jumlah gerakan setara dengan suhu. Molekul-molekul ini bertumbukan dengan molekul subjek lain yang suhunya lebih dingin sehingga terjadi perpindahan energi ke molekul subjek tersebut. Jumlah panas yang dikeluarkan setara dengan perbedaan suhu antara perbedaan suhu kedua benda yang berkontak (gradien suhu). Hantaran dipermudah oleh konveksi, pergerakan molekul menjauhi daerah kontak. Konveksi sangat meningkat apabila benda tersebut bergerak di dalam medium atau medium berjalan melewati benda misalnya orang berenang di dalam air atau kipas angin meniupkan udara di dalam suatu ruangan. Radiasi adalah pemindahan panas melalui radiasi elektromagnetik infra merah dari suatu benda ke benda lain dengan suhu berbeda dan keduanya tidak berkontak. Perhatikan bahwa karena radiasi seseorang merasakan dingin pada suatu ruangan yang dinding-dindingnya dingin walaupun ruangan tersebut relatif hangat. Oleh karena itu konduksi terjadi dari permukaan satu benda ke permukaan benda lain, suhu kulit sangat menentukan derajat pengeluaran atau penambahan panas (Ganong, 1997)
Proses utama lain dalam pemindahan panas dari tubuh manusia dan hewan lain yang berkeringat adalah penguapan air pada kulit dan membran mukosa mulut serta saluran nafas. Pada manusia, kehilangan atau pengeluaran air insensible ini sekitar 50 ml/jam, dengan demikian pengeluaran panas melalui penguapan air bervariasi dari 30 sampai lebih darin 900 kkal/jam sedangkan pada beberapa mamalia  mengeluarkan panas dengan cara terengh-engah (panting). Pernapasan yang cepat dan dangkal ini sangat meningkatkan jumlah penguapan air di mulut dan saluran nafas sehingga meningkatkan pengeluaran panas . konstribusi relatif setiap proses yang mengeluarkan panas dari tubuh sesuai suhu lingkungan. Pada suhu 210C penguapan merupakan komponen minor bagi manusia dalam keadaan istirahat. Apabila suhu lingkungan mendekati suhu tubuh, pengeluaran panas melalui radiasi berkurang dan pengeluaran melalui penguapan meningkat (Ganong, 1997).
2.5 Mekanisme Pengaturan Suhu
      Respon-respon mencakup perubahan otonom, somatik, endokrim dan perilaku. Secara umum, pajanan panas merangsang kelompok respon pertama dan menghambat yang terakhir, sedangkan pajanan dingin menyebabkan sebaliknya. “Menggulung tubuh” adalah reaksi terhadap dingin yang sering dilakukan oleh hewan seperti yang juga dilakukan beberapa orang apabila tidur di atas tempat tidur dingin. Menggulung tubuh menurunkan luas permukaan tubuh yang terpajan lingkungan. Menggigil adalah respons involunter otot-otot rangka, tetapi dingin juga menyebabkan peningkatan umum aktivitas motorik yang setengah-disadari, misalnya menghentak-hentakkan kaki dan berjingkrak-jingkrak di hari yang dingin. Peningkatan sekresi ketokelamin merupakan suatu respons endokrin yang penting terhadap dingin  (Ganong, 1997).
      Tikus yang tidak dapat membentuk norepinefrin dan epinefrin karena gen pembentuk enzim dopamin β-hidroksilase-nya telah diuraikan, tidak mampu menoleransi dingin, vasokonstriksi pada tikus-tikus itu tidak sempurna dan mereka tidak dapat meningkatkan termogenesis. Pada hewan percobaan, sekresi TSH meningkat akibat dingin dan menurun akibat panas, tetapi pada orang dewasa normal perubahan sekresi TSH yang diinduksi oleh dingin kecil dan kemaknaannya dipertanyakan. Telah umum diketahui bahwa aktivitas berkurang selama cuaca panas untuk bergerak, yaitu reaksi “terlalu panas untuk bergerak” (Ganong, 1997).
      Penyesuaian termoregulatoris melibatkan respon-respon lokal serta respon refleks yang lebih menyeluruh. Apabila pembuluh-pembuluh darah kulit didinginkan, pembuluh-pembuluh tersebut jadi lebih peka terhadap katekolamin dan arteriol serta venula mengalami konstriksi. Efek lokal ini mengarahkan darah menjauhi kulit. Respon-respon refleks yang diaktifkan oleh dingin dikendalikan dari hipotalamus posterior, sedangkan respon-respon yang diaktifkan oleh panas dikendalikan oleh hipotalamus anterior walaupun sebagian termoregulasi terhadap panas masih tetap terjadi setelah diserebrasi pada tingkat rostral otak tengah. Rangsangan pada hipotalamus anterior menyebabkan vasodilatasi kulit dan berkeringat. Rangsangan pada hipotalamus posterior menyebabkan menggigil, dan suhu tubuh hewan yan gmengalami lesi di hipotalamus posterior turun mendekati suhu lingkungan (Ganong, 1997).
2.6 Hipotalamus
      Hipotalamus adalah area kecil otak yang terletak di bagian otak depan yang disebut diensefalon. Hipotalamus adalah organ saraf dan organ endokrin. Hipotalamus berkaitan dengan mempertahankan homeostatis, yaitu mempe
Pertahankan lingkungan internal tubuh tetap konstan. Hipotalamus juga sangat penting dalam mengontrol perilaku dan memungkinkan respon yang tepat terhadap berbagai stimulus yang datang. Hipotalamus secara terus menerus menerima informasi dari sistem saraf pusat dan perifer mengenai suhu tubuh, nyeri, rasa nikmat, pemberian makanan, rasa lapar, massa tubuh, dan status metabolik. Hipotalamus juga menerima input dari hormon lain dalam tubuh dan menerima ekstensi saraf dari area lain di otak (Corwin, 2007).
      Hipotalamus secara berurutan berespon terhadap semua stimulus yang datang dengan mengirim tonjolan saraf ke seluruh otak dan dengan mensintesis serta mensekresi hormonnya sendiri. Badan sel saraf di hipotalamus ventral mensintesis beberapa hormon dan mengirimnya ke tonjolan akson untuk dilepaskan ke dalam darah dan disampaikan ke kelenjar hipofisis anterior. Badan sel saraf lain di hipotalamus mensintesis hormon yang dikirim ke bawah melalui tonjolan akson ke hipofisis posterior, tempat hormon tersebut disimpan pada akhirnya dilepasksan ke dalam aliran darah (Corwin, 2007).
2.7 Aferen
      Hipotalamus dikatakan mewujudkan suhu tubuh yang terpadu sebagai respons terhadap informasi dari reseptor-reseptor sensorik (terutama reseptor-reseptor dingin) di kulit, jaringan dalam, medula spinalis, bagian ekstrahipotalamik otak, dan hipotalamus sendiri. Untuk setiap respon utama pengaturan suhu terdapat suhu ambang, dan bila ambang tercapai, respon mulai tercapai. Ambang suhu adalah 370C untuk berkeringat, dan vasodilatasi 36,80C, untuk vasokonstriksi 360C, untuk termogenesis tanpa menggigil dan 35,50C untuk menggigil (Ganong,1997).
2.8 Demam
      Demam mungkin adalah tanda utama penyakit yang paling tua dan paling umum diketahui. Demam terjadi tidak saja pada mamalia tetapi juga pada unggas, reptil, amfibi, dan ikan. Peningkatan suhu pada hewan yang disuntik dengan suatu pirogen sebagian besar disebabkan oleh peningkatan pembentukan panas apabila hewan tersebut berada dilingkungan yang dingin dan penurunan pengeluaran panas apabila berada dalam lingkungan yang hangat. Toksin dan bakteri misalnya endotoksin bekerja pada monosit, makrofag, dan sel-sel Kupffer untuk menghasilkan berbagai macam sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen (Eps) (Ganong, 1997). 
Demam juga dapat disebabkan oleh infeksi atau salah satu akibat kerusakan jaringan, peradangan, penolakan pencangkokan, adanya tumor ganas, atau keadaan penyakit lain. Demam juga merupakan efek samping prostaglandin yang sering terjadi jika diberikan kepada wanita sebagai zat pengaborsi. NSAID tidak mengambat demam yang disebabkan oleh prostaglandin jika prostaglandin diberikan secara langsung tetapi menghambat demam yang disebabkan oleh zat-zat yang meningkatkan sintesis IL-1 dan sitokin lain seperti IL-1 β, IL-6, interferon alfa dan beta serta TNF α, yang diduga menyebabkan demam paling tidak antara lain dengan menginduksi sintesis prostaglandin endogen (Goodman, 2007).
Demam yang ditimbulkan oleh sitokin mungkin disebabkan oleh pelepasan prostaglandin lokal di hipotalamus. Penyuntikan prostaglandin ke dalam hipotalamus menyebabkan demam. Selain itu, efek antipiretiki aspirin bekerja langsung pada hipotalamus, dan aspirin menghambat sintesis prostaglandin. PGE2 adalah salah satu prostaglandin yang menyebabkan demam. Manfaat demam bagi organisme masih belum diketahui. Demam mungkin bermanfaat, karena timbul dan menetap sebagai respon terhadap infeksi dan penyakit lain.banyak mikroorganisme tumbuh baik dalam rentang suhu yang relatif sempit, dan peningkatan suhu akanakan menghambat pertumbuhannya. Selain itu pembentukan antibodi meningkat apabila suhu tubuh meningkat. Apabila suhu rektal melebihi 41oC (106oF) dalam jangka waktu lama, akan terjadi kerusakan otak permanen. Apabila melebihi 43oC, timbul heat stroke dan sering mematikan. Pada hipertemia maligna, terjadi mutasi gen yang mengkode reseptor rianodinyang menyebabkan pelepasan Ca2+  berlebihan selama kontraksi otot yang dicetuskan oleh stres. Peningkatan pembentukan panas menyebabkan peningkatan mencolok suhu tubuh yang dapat berakibat fatal apabila tidak diobati (Ganong, 1997). 
2.9 Hipotermia
      Pada mamamia yang melakukan hibernasi, suhu tubuh turun ke tingkat yang rendah tanpa menimbulkan efek merugikan setelah hewan tersebut kembali terjaga. Pengamatan ini mendorong eksperimen-eksperimen pada hipotermia induksi. Pada hewan yang tidak melakukan hibernasi dan pada manusia, apabila kuliat atau darah didinginkan sehingga suhu tubuh turun, proses-proses metabolik dan fisiologik melambat. Pada suhu rekatal sekitar 28oC, kemampuan tubuh untuk secara spontan mengembalikan suhu ke arah nomal menghilang, tetapi individu tetap dapat bertahan hidup dan apabila dihangatkan kembali dengan panas eksternal, ia kembali ke keadaan normal. Manusia dapat mentoleransi suhu tubuh antara 21-24oC (70-75oF) tanpa efek merugikan yang permanen, dan hipotermia induksi sudah banyak disunakan dalam pembedahan. Dibawah keadaan hipotermia jantung dapat dihentikan dan dibuka serta dapat dilakukan tindakan-tindakan lain, terutama operasi otak, yang tidak mungkin dilakukan tanpa pendinginan. Sebaliknya, hipotermia yang timbul karena pemajanan terhadap udara dingin atau air dingin yang diperpanjang merupakan kondisi yang serius dan membutuhkan yang hati-hati dan penghangatan kembali (Ganong, 1997).
2.10 Patofisiologi demam
Fungsi pengaturan adalah untuk memelihara temperature pusat (suhu dalam bagian tubuh dan dalam kepala) tetap pada nilai ambang rata-rata 370C walaupun terjadi kerja simpangan pembentukan panas, penerimaan dan pengeluaran panas (Mutschler, 1999).
Nilai sebenarnya dicatat oleh reseptor suhu dalam hipotalamus dan disampaikan ke pusat-pusat termoregulasi (pusat panas) yang juga terletak dalam hipotalamus. Ini selanjutnya menerima implus-implus dari reseptor dingin dan reseptor panas dari kulit dan dengan demikian dalam kondisi untuk bereaksi dengan cepat terhadap beban panas dan dingin. Pada keadaan beban panas (misalnya pada kerja jasmani), banyak panas dikeluarkan melalui peningkatan pembentukan keringat dan melalui peningkatan aliran darah kulit. Pada keadaan beban dingin, tidak hanya pembebasan panas ditekan (terutama melalui vasokonstriksi perifer), tapi juga produksi panas ditingkatkan (Mutschler, 1999).
Yang dimaksud dengan demam ialah regulasi panas pada suatu tingkat suhu yang lebih tinggi. Demam adalah gejala yang menyertai hamper semua infeksi, tapi juga terdapat pada penyakit-penyakit lain seperti beberapa bentuk tumor. Bahan-bahan bakteri dan virus dapat menyebabkan demam yang disebut demam pirogen eksogen. Pirogen eksogen tampaknya bekerja sebagai berikut, pirogen mula-mula merangsang fagosit untuk membentuk pirogen tubuh sendiri yang kemudian melalui peningkatan sintesis prostaglandin mengatur nilai ambang suhu tubuh dalam pusat pengatur suhu ke suhu lebih tinggi. Segera setelah pengaturan nilai ambang pada tingkat yang lebih tinggi, suhu tbuh normal 370C bekerja sebagai suatu suhu pada keadaan dingin. Ini menyebabkan vasokonstriksik pembuluh kulit, gemetar karena dingin dan rasa dingin yang subjektif. Pada penurunan demam (kembali pada nilai ambang normal), suhu pusat sebaaliknya dirasakan sebagai terlalu tinggi. Pengeluaran keringat, vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah di kulit dan rasa panas subjektif menandai fase penurunan demam (Mutschler, 1999).
2.11 Analgetik-Antipiretik, Analgesik Anti-Inflamasi Non Steroid, dan Obat Gangguan Sendi lainnya
Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan salah satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter. Obat-obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping (Wilmana, 2011).
2.11.1 Mekanisme Kerja AINS
Mekanisme kerja obat ini berhubungan dengan sistem biosintesis prostaglandin. Produksi prostaglandin akan meningkat bilamana sel mengalami kerusakan. Obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, malah pada beberapa orang sintesis meningkat dan dikaitkan dengan reaksi hipersentivitas yang bukan berdasarkan pembentukan antibiodi (Wilmana, 2011).
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat sikloogsigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda (Wilmana, 2011).
Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya bersifat unik. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Siklooksigenase-2 semula diduga diinduksi berbagai stimulus inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factors). Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vascular dan pada proses perbaikan jaringan. Tromboksn A2, yang disintesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin (PGI2) yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti proferatif (Wilmana, 2011).
Khusus paracetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid yaitu hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti-infalamsi parasetamol praktis tidak ada. Parasetamol diduga menghambat isoenzim COX-3, suatau variant dari COX-1. COX-3 ini hanya ada di otak (Wilmana, 2011).
Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin misalnya interleukin-1 (IL-1) yang memacu penglepasan prostaglandin yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Selain itu PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah infuskan ke ventrikel serebral atau disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip aaspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis prostaglandin. Demam yang timbul akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lainnya misalnya latihan fisik (Wilmana, 2011).
2.11.2 Efek Farmakodinamik
Sebagai antipiretik, obat mirip aspirin akan menurunkan suhu badab hanya pada keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Ini berkaitan dengan hipotesis bahwa COX yang ada di sentral otak terutama COX-3 diman hanya parasetamol dan beberapa obat AINS lainnya dapat menghambat. Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik atas alasan tersebut (Wilamana, 2011).
Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2, mendasari gangguam homeostatis ginjal yang ditimbulkan oleh AINS. Pada orang normal gangguan ini tidak banyak mempengaruhi fungsi ginjal. Tetapi pada pasien hipovolemia, sirosis hepatis yang disertai asitesis dan pasien gagal jantung, aliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomeruli akan berkurang, bahkan dapat terjadi gagal ginjal akut. Penggunaan berlebihan AINS secara habitual bertahun-bertahun dihubungkan dengan terjadinya nefropati analgesic. Nefropati analgesik dengan ciri nefritis interstisial kronik dan nekrosis papilar ginjal/klasifikasi dapat didiagnosis pada tiap tahap dengan CT scan tanpa media kontras. Efek penggunaan analgesik habitual terhadap bentuk gangguan ginjal lain belum jelas. Penggunaan AINS secara habitual perlu peringatan akan kemungkinan terjadinya gangguan ginjal (Wilmana, 2011).
2.12 Para Amino Fenol
Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen. Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Fenazetin tidak digunakan lagi dalam pengobatan karena penggunaanya dikaitkan dengan terjadinya analgesik nefropati, anemia hemolitik dan mungkin kanker kandung kemih. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas. Walau demikian, laporan kerusakan fatal hepar akibat takar lajak akut perlu diperhatikan. Tetapi perlu diperhatikan pemakai maupun dokter bahwa efek anti inflamasi parasetamol hamper tidak ada (Wilmana, 2011).
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek anti inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangab asam basa (Wilmana, 2011).
Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Willmans, 2011).
Masa paruh parasetamol pada hari pertama keracunan merupakan petunjuk beratnya keracunan. Masa paruh lebih dari 4 jam merupakan petunjuk akan terjadinya nekrosis hati dan masa paruh lebih dari 12 jam meramalkan akan terjadinya koma hepatic. Penentuan kadar parasetamol sesaat kurang peka untuk meramalkan terjadinya kerusakan hati. Kerusakan ini tidak hanya disebabkan oleh parasetamol, tetapi juga oleh radikal bebas, metabolit yang sangat reaktif yang berikatan secara kovalen dengan makromolekul vital sel hati. Karena itu hepatotoksisitas parasetamol meningkat pada pasien yang juga mendapat barbiturate, antikonvulsi lain atau pada alkoholik yang kronis. Kerusakan yang timbul berupa nekrosis sentrilobularis. N-asetilsistein cukup efektif bila diberikan per oral 24 jam setelah minum dosis toksis parasetamol (Wilhana, 2011).

BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Alat
-       Termometer rectal
-       Timbangan hewan
-       Spuit
-       Oral sonde
-       Alat pencatat waktu
-       Kotak kaca

3.2 Bahan
-          Larutan NaOH 0,1 N
-          CMC
-          Paracetamol
-          Obat X
-          2,4 Dinitrofenol (DNF)
3.3 Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah tikus
3.4 Prosedur Kerja
-          Diukur suhu tubuh tikus sebanyak tiga kali dengan selang waktu 5 menit. Ditentukan temperature rata-rata (temperature normal tikus T0 = 36-370C).
-          Tikus disuntikkan dengan larutan 2,4-Dinitrofenol secara intramuscular pada daerah dada, dengan dosis 5 mg/kgBB. Dicatat perubahan suhu tubuh tikus setiap 5 menit selama 20 menit.
-          Setelah 20 menit, tikus diberi parasetamol dengan dosis 45 mg/kgBB dan obat X dengan dosis 18 mg/kgBB. Tikus lain diberi suspensi kosong secara per oral sebanyak volume suspensi paracetamol sebagai control
-          Dicatat perubahan suhu tubuh tikus setiap 5 menit selama 50 menit.
3.5 Perhitungan Dosis
·        Tikus 1
-       CMC 0,5% dosis 1% BB
BB tikus     = 222,12 g
CMC 0,5% = 1 g/100 ml x 222,12 g
= 2,2212 g/ml
Syringe yang digunakan 1: 40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil                =
-       DNF 0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF 0,5%       = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml = 5 mg/ml
Dosis               =    
Jumlah DNF    =  = 0,22212 ml
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil      =
·        Tikus 2
-       CMC 0,5% dosis 1% BB
BB tikus     = 220,9 g
CMC 0,5% = 1 g/100 ml x 220,9 g
= 2,209 g/ml
Syringe yang digunakan 1: 40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil                =
-       DNF 0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF 0,5%       = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml = 5 mg/ml
Dosis               =       
Jumlah DNF    =  = 0,2209 ml
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil      =

·        Tikus 3
-       Sirup Paracetamol 0,5% dosis 45 mg/kgBB
BB tikus                 = 165,41 g
Paracetamol 0,5%   = 0,5 g/100ml = 500 mg/100 ml
                                                        = 5 mg/ml
Dosis                       =
Jumlah larutan yang diambil =
-       DNF 0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF 0,5%       = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml = 5 mg/ml
Dosis               =       
Jumlah DNF    =  = 0,165 ml
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil      =
·        Tikus 4
-       Sirup Paracetamol 0,5% dosis 45 mg/kgBB
BB tikus                 = 144,6 g
Paracetamol 0,5%   = 0,5 g/100ml = 500 mg/100 ml
                                                        = 5 mg/ml
Dosis                       =
Jumlah larutan yang diambil =
-       DNF 0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF 0,5%       = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml = 5 mg/ml
Dosis               =         
Jumlah DNF    =  = 0,1446 ml
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil      =
·        Tikus 5
-       Sirup Paracetamol 0,5% dosis 45 mg/kgBB
BB tikus                 =  190,8 g
Paracetamol 0,5%   = 0,5 g/100ml = 500 mg/100 ml
                                                        = 5 mg/ml
Dosis                       =
Jumlah larutan yang diambil =
-       DNF 0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF 0,5%       = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml = 5 mg/ml
Dosis               =       
Jumlah DNF    =  = 0,1908 ml
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil      =
·        Tikus 6
-       Suspensi obat X 0,3% dosis 18 mg/kgBB
BB tikus                 = 98,8 g
Obat X 0,3%          = 0,3 g/100ml = 300 mg/100 ml
                                                        = 3 mg/ml
Dosis                       =
Jumlah Obat X =
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil             =
-       DNF 0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF 0,5%  = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml = 5 mg/ml
Dosis                       =           
Jumlah DNF           =  = 0,0988 ml
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil             =
·        Tikus 7
-       Suspensi obat X 0,3% dosis 18 mg/kgBB
BB tikus                 = 74,6 g
Obat X 0,3%          = 0,3 g/100ml = 300 mg/100 ml
                                                        = 3 mg/ml
Dosis                       =
Jumlah Obat X =
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil             =
-       DNF 0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF 0,5%  = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml = 5 mg/ml
Dosis                       =       
Jumlah DNF           =  = 0,1755 ml
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil             =
·        Tikus 8
-       Suspensi obat X 0,3% dosis 18 mg/kgBB
BB tikus                 = 175,5 g
Obat X 0,3%          = 0,3 g/100ml = 300 mg/100 ml
                                                        = 3 mg/ml
Dosis                       =
Jumlah Obat X =

-       DNF 0,5% dosis 5 mg/kgBB
DNF 0,5%  = 0,5 g/100 ml = 500 mg/100 ml = 5 mg/ml
Dosis                       =       
Jumlah DNF           =  = 0,1755 ml
Syringe yang digunakan = 1:40 = 1: 0,025
Larutan yang diambil             = la



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
A. Suhu rata-rata tikus
No
Keterangan
Waktu (menit)
Suhu 0C
1
Tikus 1 (Aquadest)
5
35,9
36,8


10
35,0
36,9


15
35,1
37,0


Rata-rata
35,33
36,9
2

Tikus 2 (Paracetamol)
5
37

36,2


37,0


10
36,6
36,5
38,3


15
36,7
37,0
36,6


Rata-rata
36,7
36,5
37,3
3
Tikus 3 (Obat X)
5
36
36,9
36,3


10
36
36,7
36,2


15
36
36,8
36,5


Rata-rata
36
36,8
36,3

B. Suhu setelah pemberian DNF
No
Keterangan
Waktu (menit)
Suhu (0C)
1
Tikus 1 (Aquadest)
5
35,0
37


10
35,9
36


15
36,2
36,4


20
36,5
36
2
Tikus 2 (Paracetamol)
5
36,3
36,2
36,6


10
36,5
36,5
36,7


15
37,0
37
37,3


20
37,8
37,3
37,4
3
Tikus 3 (Obat X)
5
36,0
36,8
36,9


10
36,0
37,7
36,9


15
36,2
38,2
36,6


20
36,3
38,3
36,4

C. Suhu Setelah pemberian obat
No
Keterangan
Waktu (menit)
Suhu (oC)
1
Tikus 1 (Aquadest)
5
35,7
35,8


10
35,5
36


15
36,3
36,8


20
36,5
37


25
36,7
37,2


30
36,6
37,5


35
36,6
36,6


40
35,8
36,5


45
35,8
36,2


50
35,9
36,0
2
Tikus 2 (Parasetamol)
5
37,2
36,9
37,2


10
37,0
36,5
36,6


15
36,7
36,1
36,9


20
37,1
35,8
37,1


25
37,0
36,8
36,7


30
36,8
36,2
36,4


35
36,5
35,7
36,4


40
36,6
35,5
36,3


45
36,2
35,5
36,3


50
35,8
35,5
36,3
3
Tikus 3 (Obat X)
5
35,7
37,0
36,9


10
35,7
36,4
36,9


15
36,1
36,2
36,6


20
36,3
36,3
36,4


25
35,6
36,4
36,2


30
36,1
36,2
36,1


35
36,1
36,4
36,8


40
36,1
36,5
37,7


45
36,4
36,7
36,5


50
36,4
36,5
36,0

4.2 Pembahasan
Berdasarkan data hasil percobaan diatas, diketahui bahwa tikus 1 sebagai kontrol, setelah pemberian 2,4 dinitrofenol mengalami kenaikan suhu tubuh menjadi 36,50C dari suhu rata-rata 35,30C. Setelah pemberian kontrol CMC terjadi penurunan suhu tubuh pada menit ke-40 menjadi 35,70C tetapi mengalami kenaikan lagi pada menit ke-50 sampai menit ke-70 menjadi 36,60C dan segera mengalami penurunan di menit ke-75 menjadi 35,80C dan di menit ke-85 menjadi 35,90C.
Tikus 2 sebagai kontrol, setelah pemberian 2,4 dinitrofenol mengalami kenaikan suhu tubuh menjadi 370C dari suhu rata-rata 36,90C. Setelah pemberian kontrol CMC terjadi penurunan suhu tubuh pada menit ke-40 menjadi 35,80C tetapi mengalami kenaikan lagi pada menit ke-50 sampai menit ke-70 menjadi 37,50C dan segera mengalami penurunan di menit ke-75 sampai menit ke-85 menjadi 36,00C.
Tikus 3, 4 dan 5 sebagai kelompok uji setelah pemberian 2,4 dinitrifenol mengalami kenaikan suhu tubuh dari suhu rata-rata. Setelah pemberian paracetamol terjadi penurunan suhu tubuh tetapi mengalami kenaikan suhu tubuh pada menit ke-55 untuk tikus 3 dan tikus 5, pada menit ke-60 untuk tikus 4.
Tikus 6,7 dan 8 sebagai kelompok pembanding setelah pemberian 2,4 dinitrofenol mengalami kenaikan suhu tubuh dari suhu rata-rata. Setelah pemberian obat X terjadi penurunan suhu tubuh tetapi mengalami kenaikan suhu tubuh pada menit ke-80 untuk tikus 6 dan tikus 7, pada menit ke-75 untuk tikus 8.
Kenaikan suhu tubuh tikus yang tiba-tiba dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan diantaranya aktivitas fisik, stress, suhu kamar dan kelembaban yang tinggi (Anonim, 2009).
Pemberian obat X dan parasetamol pada hewan uji (tikus) ternyata efektif untuk menurunkan panas. Hal ini dapat dilihat pada akhir pengamatan, suhu tubuh tikus sudah kembali pada suhu normalnya.
Demam merupakan gangguan kesehatan yang hampir pernah dirasakan oleh setiap orang. Demam ditandai dengan kenaikan suhu tubuh di atas suhu tubuh normal yaitu 36-37 C, yang diawali dengan kondisi menggigil (kedinginan) pada saat peningkatan suhu, dan setelah itu terjadi kemerahan pada permukaan kulit (Amila, 2008).
Secara farmakologi 2,4-dinitrofenol bekerja meningkatkan laju metabolisme dan suhu tubuh. Peningkatan metabolisme yang tinggi berhubungan erat dengan produksi panas sehingga panas yang terjadi melebihi kapasitas panas, yang tidak diimbangi dengan pengeluaran panas yang dapat menyebabkan hipertermia (Widariza, 2009).
Obat x yang digunakan pada percobaan ini adalah ibuprofen. Ibuprofen termasuk salah satu dari golongan obat antiinflamasi non steroid (AINS) yang banyak digunakan sebagai analgesik, antiinflamasi dan antipiretik. Ibuprofen dosis rendah sama efektifnya dengan aspirin dan parasetamol untuk indikasi sebagai antipiretik (Sofwan, 2013).




BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
·         Pemberian 2,4-dinitrofenol pada hewan uji (tikus) menyebabkan peningkatan suhu tubuh tikus dari suhu tubuh normalnya.
·         Pemberian parasetamol dan obat X pada tikus menyebabkan penurunan suhu tubuh tikus yang telah diinduksi dengan 2,4-dinitrofenol.
·         Obat X yang dimaksud adalah Ibuprofen.
5.2 Saran
·         Sebaiknya pada percobaan selanjutnya digunakan obat antipiretik lain sebagai pembanding seperti asam mefenamat.
·         Sebaiknya pada percobaan selanjutnya mengguna hewan percobaan lain seperti merpati.
·         Sebaiknya digunakan bahan penginduksi demam yang lain, seperti peptone.



DAFTAR PUSTAKA

Amila. 2008. Uji Efek Antipiretik Jus Jeruk Nipis pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley Sel kelamin. [online]. Available at: <https://www.academia.edu/3239020/Uji_Efek_Antipiretik_Jus_Jeruk_Nipis_pada_Tikus_Putih_Galur_Sprague_Dawley_Sel_kelamin> [Acessed 25 April 2014]
Corwin, E.J. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Ganong, W.F. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta : EGC
Goodman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi Vol 1 Edisi 10. Jakarta: EGC
Mutschler, E. 1999. Dinamika Obat Edisi Kelima. Bandung : Penerbit ITB
Rahul. 2013. Evaluation Of Efficacy And Tolerability Of Acetaminophen (Paracetamol)   And Mefenamic Acid As Antipyretic In Pediatric Patients With Febrile Illness: A Comparative Study. [online]. Available at: <http://ijmrhs.com/wp-content/uploads/2013/01/Rahul-et-al.pdf> [Acessed 25 April 2014]
Sofwan, A.G. 2013. Pengaruh Ibuprofen Nanopartikel Terhadap Disolusi, Bioavailabilitas dan efek analgetik secara in vivo. [online]. Available at: <http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/35575> [Acessed 25 April 2014]
Widariza, D. 2009. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Efek Antipiretik dari Asetosal Baku, Asetosal Generik dan Merek Dagang pada Merpati Jantan. [online]. Available at: <http:// repository.usu.ac.id/bitstr89/14310/1/09E02826.pdf> [Acessed 25 April 2014]
Wilmana, P.F. 2011. Analgesik-Antipiretik, Analgesik-Anti inflamasi Nonsteroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam Buku: Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Editor: Sulistia Gan Gunawan. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
 

 


 





1 komentar:

  1. terimakasih ya atas makalahnya, sangat bermanfaat. Salam blogger

    BalasHapus