BAB
I
PENDAHULUAN
Kerja suatu obat merupakan proses kerja dari
banyak sekali proses dan sangat rumit. Umumnya ini didasari suatu rangkaian
reaksi, yang dibagi dalam tiga fase yaitu: fase farmaseutik, fase farmakokinetika
dan fase farmakodinamika (Mutschler, 2006).
Fase
farmaseutik meliputi hancurnya bentuk sediaan obat dan melarutnya bahan obat,
dimana kebanyakan obat padat yang digunakan. Dalam farmakokinetika termasuk
bagian proses eliminasi (evasi) dan invasi. Yang dimaksud dengan invasi ialah proses-proses
yang berlangsung dalam pengambilan suatu bahan obat ke dalam organisme
(absorpsi, distribusi) sedangkan eliminasi merupakan proses-proses yang
menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam organisme (biotransformasi,
ekskresi). Fase farmakodinamika merupakan interaksi obat-reseptor dan juga
proses-proses yang terlibat dimana akhir dari efek farmakologi terjadi
(Mutschler:2006).
Dari bentuk kerja obat jelas bahwa tidak
hanya bergantung pada sifat farmakodinamika bahan obat, tetapi juga tergantung kepada:
·
Bentuk sediaan dan bahan pembantu yang
digunakan,
·
Jenis dan tempat pemberian,
·
Keterabsorpsian dan kecepatan absorpsi,
·
Distribusi dalam organisme,
·
Ikatan dan lokasi dalam jaringan,
·
Biotransformasi (proses metabolisme) dan
·
Ketereskresian dan kecepatan ekskresi.
Interaksi obat dengan
reseptor dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: efek maksimum atau
efektivitas merupakan respon yang dapat ditimbulkan oleh obat jika diberikan
pada dosis yang tinggi, variasi biologi dimana untuk menimbulkan efek obat
dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran dosis dan
pemberian dosis dengan kisaran tertentu pada populasi akan menimbulkan satu
kisaran intensitas efek.
BAB
II
TUJUAN
PERCOBAAN
Tujuan
percobaan ini adalah setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa diharapkan
dapat mengetahui pengaruh dosis, rute pemberian obat, dan variasi biologi hewan
percobaan terhadap aktivitas obat/ sediaan uji.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Hubungan Antara Dosis Obat & Respons
Untuk
suatu terapi obat yang bermanfaat, maka, pemberian dosis yang cukup merupakan
syarat. Pemeberian dosis yang cukup berarti pemberian dosis sedemikian rupa,
sehingga mencapai efek yang diinginkan tanpa dosis berlebihan dan dengan
demikian tanpa efek samping toksik yang seharusnya dapat dicegah
(Mutschler:2006).
Karena
efek yang ditimbulkan oleh suatu obat dalam organisme tergantung pada
konsentrasi pada tempat kerja dan dengan demikian pada suatu dosis harus
diperhatikan sejauh dosis tertentu, bergantung pada bobot badan maka dosis
harus diberikan secara tepat (Mutschler:2006).
Keberhasilan
terapi obat selama periode tertentu bergantung pada tercapainya konsentrasi zat
berkhasiat yang terletak pada daerah konsentrasi terapeutik. Jika diinginkan untuk
secepat mungkin melewati suatu konsentrasi terapeutik minimum yang dibutuhkan
pada terapi jangka lama maka diberikan untk senyawa dengan waktu paruh
eliminasi yang besar, mula-mula dosis awal yang realtif tinggi dan selanjutnya
dosis pemeliharaan yang lebih rendah. Dengan cara ini, kadar dalam darah
terletak dalam daerah konsentrasi terapeutik segera dicapai (Mutschler:2006).
Disamping
dosis tunggal, dosis harian, dosis awal dan dosis penjenuhan maka selang dosis
yaitu waktu anatara dua pemakaian obat merupakan suatu parameter penting untuk
kelompok pengaturan dosis (Mutschler:2006).
Baik
pada hewan maupun manusia, respons yang ditimbulkan oleh suatu obat dalam dosis
yang rendah, biasanya akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan dosis.
Namun seiring dengan bertambahnya dosis obat, peningkatan respon tubuh akan
berkurang, hingga peningkatan dosis tidak akan menimbulkan peningkatan respon
lagi (Katzung, 2007).
Obat
agonis bekerja setelah terikat dengan (“menduduki”) suatu molekul biologi
tertentu yang karakter afinitasnya cocok dengan reseptor obat tersebut. Bila
reseptor diduduki suatu agonis, terjadi perubahan konformasi yang merupakan
langkah pertama dari serangkaian tahap yang akhirnya menghasilkan suatu respons
farmakologik. Proses transduksi yang terjadi sejak reseptor diduduki hingga
timbulnya respon obat sering disebut kopling (Katzung, 2007).
Menurut
teori pendudukan reseptor, intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi
reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan intensitas efek mencapai maksimal jika seluruh
reseptor diduduki oleh obat (Gunawan, 2011).
Potensi
menujukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh
kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat-sifat
farmakokinetik obat dan afinitas obat terhadap reseptornya. Jika potensi
terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu besar.
Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau membahayakan jika obatnya
mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit (Gunawan, 2011).
Dosis
obat yang harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diharapkan
tergantung dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, kelamin, besarnya
permukaan badan, kelamin, besarnya permukaan badan, beratnya penyakit dan
keadaan daya tangkis penderita (Tjay, 2007).
3.1.1
Dosis untuk manula
Manula
yaitu orang yang berusia di atas 65 tahun, lazimnya lebih peka terhadap obat
dan efek sampingnya, karena perubahan-perubahan fisiologis, seperti menurunnya
fungsi ginjal dan metabolisme hati, meningkatnya rasio lemak air dan
berkurangnya sirkulasi darah. Karena fungsi hati dan ginjal menurun, maka
eliminasi obat pun berlangsung lebih lambat. Lagi pula jumlah albumin darahnya
lebih sedikit, oleh karena itu pengikatan obat pun berkurang. Oleh karena
faktor-faktor tersebut, bagi lansia dianjurkan menggunakan dosis yang lebih
rendah, yakni:
|
(Tjay,
2007).
3.1.2
Dosis untuk anak kecil
Anak
kecil, terutama bayi yang baru lahir (neonati), menunjukkan kerentanan yang
lebih besar terhadap obat, karena fungsi hati dan ginjal serta sistem enzimnya
belum berkembang lengkap (Tjay, 2007).
Ada
beberapa rumus untuk menghitung dosis anak-anak berdasarkan usia, bobot badan
atau luas permukaan badan (Tjay, 2007).
3.1.3
Indeks Terapi
Untuk
menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu
kisaran dosis. Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut
dosis terapi median atau dosis efektif median (=ED 50). Dosis letal median
(=LD50) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50% individu, sedangkan TD50
ialah dosis toksik 50% (Gunawan, 2011).
Indeks
terapi (LD50:ED50) merupakan perbandingan antara kedua dosis itu, yang
merupakan suatu ukuran keamanan obat. Semakin besar indeks terapi, semakin aman
penggunaan obat tersebut. Indeks terapi ini tidak dengan begitu saja dapat
dikorelasikan terhadap manusia, seperti semua hasil percobaan dengan binatang,
karena adanya perbedaan metabolisme (Tjay, 2007).
Luas
terapi (ED50-LD50) adalah jarak antara ED50 dan LD50, juga dinamakan jarak
keamanan. Seperti indeks terapi, luas terapi berguna pula sebagai indikasi
untuk keamanan obat, terutama untuk obat yang digunakan untuk jangka waktu
panjang. Obat dengan luas terapi kecil, yaitu dengan selisih kecil anatara
dosis terapi dan dosis toksisnya, mudah sekali menimbulkan keracunan bila dosis
normalnya dilampaui (Tjay, 2007).
Ada berbagai metode
perhitungan DL yang umum digunakan antara lain metode Miller-Tainter, metode
Reed-Muench, dan metode Kärber. Dalam metode
Miller-Tainter digunakan kertas grafik khusus yaitu kertas logaritma-probit
yang memiliki skala logaritmik sebagai absis
dan skala probit (skala ini tidak linier)
sebagai ordinat. Pada kertas ini dibuat grafik antara persen mortalitas
terhadap logaritma dosis. Metode Reed-Muench
didasarkan pada nilai kumulatif jumlah hewan
yang hidup dan jumlah hewan 50 yang mati. Diasumsikan bahwa hewan yang mati dengan dosis tertentu akan mati dengan
dosis yang lebih besar, dan hewan yang hidup akan hidup dengan dosis yang lebih
kecil. Metode Kärber prinsipnya menggunakan rataan interval jumlah kematian
dalam masing-masing kelompok hewan dan selisih dosis pada interval yang sama
(Soemardji, 2002).
3.2
Rute Pemberian Obat
Rute
pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat obat (seperti kelarutan dalam air
atau lipid, ionisasi, dsb) dan oleh tujuan terapi (misalnya, keinginan akan
suatu awitan kerja obat yang cepat ayau kebutuhan akan pemberian jangka panjang
atau terbatas pada suatu tempat local (Mycek, 1997).
Cara
pemberian obat turut menentukan kecepatan dan kelengkapan resorpsi obat.
Tergantung efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau
efek lokal (setempat), keadaan pasien dan sifat-sifat fisiko-kimiawi obat,
dapat dipilih dari banyak cara untuk memberikan obat (Tjay, 2007).
3.2.1
Efek sistemis
a.
Oral
Pemberian
obat melalui mulut (per oral) adalah cara yang paling lazim, karena sangat
praktis, mudah dan aman. Namun, tidak semua obat dapat diberikan peroral,
misalnya obat yang bersifat merangsang atau yang diuraikan oleh getah lambung
seperti benzilpenisilin, insulin, oksitoksin dan hormone steroida (Tjay, 2007).
Sering
kali, resorpsi obat setelah pemberian oral tidak teratur dan tidak lengkap,
meskipun formulasinya optimal. Keberatan lain adalah obat setelah diresorpsi harus
melalui hati, dimana dapat terjadi inaktivasi, sebelum diedarkan ke lokasi
kerjanya (Tjay, 2007).
Untuk
mencapai efek lokal di usus dilakukan pemberian oral, misalnyaobat cacing atau
antibiotika untuk mensterilkan lambung-usus pada infeksi atau sebelum
pembedahan. Obat-obat ini justru tidak boleh diserap, begitu pula zat-zat
kontras Rontgen guna membuat foto lambung-usus (Tjay, 2007).
b.
Sublingual
Obat
setelah dikunyah halus diletakkan di bawah lidah (sublingual), temoat
berlangsungnya resorpsi oleh selaput lender setenpat ke dalam vena lidah yang
sangat banyak di lokasi ini. Keuntungan cara ini ialah obat langsung ke
perendaraan darah besar tnpa nelalui hati Oleh karena itu, cara ini digunakan
yang pesat dan lengkap diinginkan.
Keberatannya adalah kurang praktis utuk digunakan terus menerus dan
dapatmerangsang mukosa mulut. Hanya obat yang bersifat lifopil saja yang dapat
dibetkan dengan cara ini (Tjay, 2007).
c.
Injeksi
Pemberian
obat secara parenteral biasanya dipilih diinginkan efek yang cepat, kuat dan
lengkap atau tidak mau bekerja sama. Keberatannya adalah cara ini lebuh mahal
dan lebih rugi serta sukar digunakan oleh pasien sendiri. Selain itu ada pula
bahaya terkena infeksi kuman (hrus steril) dan bahaya merusak pembuluh atau
saraf jika tempat suntikan tidak dipilih dengan tepat (Tjay, 2007).
· Subkutan
(hypodermal). Injeksi di bawah kulit tidak dapat dilakukan hanya dengan obat
yang tidak merangsang dan melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak
secepat injeksi intramuscular atau intravena. Mudah dilakukan sendiri, misalnya
pada insulin pada pasien penyakit gula.
· Intrakutan
(di dalam kulit): absorsi sangat lambat, misalnya injeksi tuberculin.
· Intramuskular
(i.m.) Dengan injeksi di dalam otot, obat yang terlarut bekerja dalam 10-30
menit. Guna memperlambat resopsi dengan maksud memperpanjang kerja obat,
seringkalai digunakan larutan atau
suspensi dalam minyak.
· Intravena
(i.v.) Injeksi ke dalam pembuluh darah menghasilakn efek tercepat dalam waktu
18 detik, yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar ke seluruh
jaringan. Tetapi lama kerja obat biasanya singkat. Cara ini digunakan untuk
mencapai pentakaran yang tepat dan dapat dipercaya, atau efek yang sangat cepat
dan kuat.
· Intraarteri.
Injeksi ke pembuluih nadi adakalanya dilakukan untuk membanjiri suatu organ,
misalnya hati dengan obat yang cepat diinaktifkan atau terikat pada jaringan.
· Intralumbal
(antara ruas tulang belakang pinggang), intraperitonial (ke dalam ruang selaput
perut), intracardial (jantung) dan intra-artikular (ke celah-celah sendi)
adalah beberapa cara injeksi lainnya untuk memasukkan oabt langsnug ke temapt
yang diinginkan.
d.
Implantasi
subkutan
Implantasi subkutan adalah memasukkan oabt dalam
bentuk pellet steril (obat silindris kecil) ke bawah kulit dengan menggunakan
suatu alat khusus. Obat ini terutama digunakan untuk efek sistemik lama.
e. Rektal
Rektal adalah pemberian obat melalui rectum (dubur)
yang layak untk obat yang merangsang atau obat yang diuraikan oleh asam
lambung.
3.2.2 Efek lokal
a. Intranasal
Intranasal (melalui hidung) digunakan tetes hidung
pada salesma untuk menciutkan mukosa yang bengkak.
b. Intraokuler
dan intra-aurikular
Obat
berbentuk tetes atau salep yang digunakan untk mengobati penyakit mata atau
telinga. Pada penggunaan beberapa jenis obat tetes harus waspada, karena oabat
dalam direpsorsi ke darah dan menimbulkan efek toksis.
c.
Inhalasi (Intrapulmonal)
Gas,
zat terbang atau larutan sering kali diberikan secara inhalasi (aerosol), yaitu
obat yang disemprotkan ke dalam mulut dengan alat aerosol. SEmprotan obat yang
dihirup dengan udara dan resopsi terjadi melalui mukosa mulut, tenggorok dan
saluran nafas. Tanpa melalui hati, obat denagn cepat memasuki peredaran darah
dan menghasilkan efeknya.
d. Intravaginal
Untuk mengobati gangguan vagina secara lokal
tersedia salep, tablet atau sejenis supositoria vaginal (ovula) yang harus
dimasukkan ke dalam vagina dan melarut di situ. Penggunaan lain adalah untuk
mencegah kehamilan, dimana zat spermicid (dengan daya mematikan sel-sel mani)
diamsukkan dalam bentuk tablet busa, krim atau foam (Tjay:2006).
e. Kulit
(Topikal)
Pada penaykit kulit, oabt yng digunakan berupa
salep, krem atau lotion (kocokan). Kulit yang sehat dan utuh sukar sekali
ditembus obat, tetapi resopsi berlangsung lebih mudah jika ada kerusakan
(Tjay:2006).
Tabel 3.1 Rute
pemberian, bioavailabilitas dan sifat-sifat umum
Rute
|
Bioavailibilitas
(%)
|
Sifat-sifat
|
Intravena
(i.v.)
|
100
(dengan ketentuan)
|
Kebanyakan dengan mula kerja
cepat
|
Intramuskular
(i.m.)
|
75
sampai ≤ 100
|
Sering
membutuhkan volume yang besar, mungkin disertai rasa nyeri.
|
Subkutan
(s.c.)
|
75
sampai ≤ 100
|
Volume
lebih sedikit dibandingkan dengan i.m, mungkin dengan rasa nyeri.
|
Oral
|
5
sampai < 100
|
Sebagaian
besar sesuai, efek first pass mungkin berarti.
|
Rektal
|
30
sampai < 100
|
Efek
first pass lebih kecil dibandingkan dengan oral.
|
Inhalasi
|
5
sampai < 100
|
Mula
kerja sering sangat cepat.
|
Transdermal
|
80
sampai ≤ 100
|
Absorbsi
biasanya sangat lambat, biasanya digunakan untuk yang tidak memiliki efek
first pass, memperlama durasi kerja.
|
(Katzung,
2007)
3.3
Variasi
Respon Obat
Respon individu-individu terhadap suatu obat bisa
sangat bervariasi, seorang individu dapat memberikan dapat memberikan respon
yang berlainan terhadap obat ayng sama pada waktu yang berbeda selama masa
pengobatan. Kadangkala, penderita menunjukkan respon tidak lazim atas
idiosinkrasi, yaitu suatu respon yang jarang terlihat pada kebanayakan
penderita. Respon idiosinkrasi biasanya disebebkan oleh perbedaan genetic
metabolism obat atau mekanisme imunologi, termasuk reaksi alergi (Katzung,
2007).
Variasi kuantitatif respon obat biasanya lebih
sering dan secara klinis lebih penting. Seorang individu disebut hiporeaktif
atau hipereaktif terhadap suatu obat jika intensitas efek suatu obat dalam
dosis tertentu menjadi berkurang atau bertamabah bila dibandingkan dengan efeknya
pada kebanyakan individu (Katzung, 2007).
Dengan beberapa obat, intensitas respon akibat
pemebrian obat bias berubah selama masa terapi, respon biasanya menurun akibat
pemberian obat yang terus menerus, menghasilkan suatu keadaan toleransi relatif
efek obat. Apabila responnya hilang dengan cepat setelah pemberian suatu obat,
respon yang demikian disebut sebagai takifilaksis (Katzung, 2007).
Dalam memberikan dosis pertama suatu obat, harus
mempertimbangkan faktor-faktor yang mungkin membantu dalam meramalkan variasi
respon suatu obat. Faktor-faktor tersebut meliputi kecenderungan obat-obat
tertentu untuk menghasilkan toleransi atau takifilaksis, umur, seks, ukuran
tubuh, keadaan penyakit, dan pemebrian obat-obat lain secara simultan (Katzung,
2007).
3.3.1
Umur dan Jenis Kelamin
Kepekaan
yang meningkat terhadap aktivitas farmakologi dan toksisitas obat-oabat telah
dilaporkan pada pasien yang sangat muda dan yang tua sekali dibandingkan dengan
pasien dewasa muda. Walaupun hal ini mencerminkan adanya perbedaan dalam
absorbsi obat, distribusi dan eliminasi obat, perbedaan-perbedaan dalam
metabolisme obat juga memiliki peranan. Metabolisme yang lebih lambat dapat
disebabkan oleh berkurangnya aktivitas enzim metabolik atau berkurangnya
ketersediaan kofaktor endogen dan esensial (Katzung, 2007).
Variasi
metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah dikenal dengan baik
pada tikus tetapi tidak pada hewan pengerat lain. Tikus jantan dewasa muda
menunjukkan metabolisme obat yang jauh lebih cepat daripada tikus betina atau
tikus jantan pre-pubertas. Perbedaan dalam metabolisme obat ini jelas
berhubungan dengan hormone adrogenik. Beberapa laporan klinik menyatakan bahwa
perbedaan serupa pada metabolisme obat yang ter-dependent ini terjadi juga pada manusia untuk
etanol, propanolol, beberapa benzodiazepine, estrogen dan salisilat (Katzung,
2007).
3.4
Fenobarbital
Senyawa hipnotik ini terutama digunakan
pada serangan grand mal dan status epilepticus berdasarkan sifatnya yang dapat
memblokir pelepasan muatan listrik di otak. Untuk mengatasi efek hipnotiknya,
obat ini dapat dikombinasikan dengan kafein. Tidak boleh diebrikan pada
absences kerana dapat memperburuknya (Tjay:2006).
Resopsinya di usus baik (70-90%) dan
lebih kurang 50% terikat pada protein, plasma t1/2nya panjang, lebih
kurang 3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus.
Kontraindikasinya 50% dipecah menjadi p-hidroksifenobarbital yang dieksresikan
lewat urin dan hanya 10-30% dalam keadaan utuh (Tjay:2006).
Efek sampingnya berkaitan dengan efek
sedasinya yakni pusing, mengantuk, ataksia dan pada anak-anaka mudah
terangsang. Efek samping ini dapat dikurangi dengan penambahan obat-obat lain
(Tjay:2006).
Interaksi bersifat menginduksi enzim dan
antaralain mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan
kemungkinan timbulnya achitis pada anak kecil. Penggunaanya bersama valproat
harus hati-hati karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan (Tjay:2006).
Dosisnya 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam 2
kali), pada anak-anak 2-12 bulan 4 mg/kg berat badan sehari (Tjay:2006)
BAB IV
METODE PERCOBAAN
4.1 Alat
-
Spidol permanen
-
Syringe
-
Timbangan elektrik
-
Beaker glass 10 ml
-
Wadah kaca untuk
pengamatan
4.2 Bahan
-
Mencit 4 ekor
-
Luminal Na konsentrasi
0,7%
4.3
Prosedur Percobaan
1. Penandaan
Hewan
- dipegang ujung ekor mencit dengan tangan
kanan dan dibiarkan kaki depan
berpaut pada kawat kasa kandang
- ditandai
ekor mencit dengan spidol permanent
- diletakkan
di atas timbangan, kemudian catat beratnya
- dihitung
dosisnya
2. Persiapan
Hewan
- dipegang
ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa
kandang.
- dipegang
kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan
ibu jari tangan kiri
- ditukarkan
pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat
dipegang dengan sempurna
- mencit
siap untuk disuntik
3. Cara
Pemberian Obat
·
Intraperitoneal
Pemberian Luminal Na
0,7%
-
dipegang
tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar
di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
-
disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian
bawah tengah abdomen dengan cepat
- diamati
efek obat yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit dan dibuat grafik
respon vs waktu
·
Peroral
Percobaan
kontrol (dengan pemberian aquadest)
- dipegang
tengkuk mencit
-
diselipkan jarum oral yang telah berisi
aquadest berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga masuk ke esophagus
- Larutan
didesak keluar dari alat suntik.
- Diamati
efek yang terjadi selang waktu 10 menit selam 90 menit dan dibuat grafik respon
vs waktu
Pemberian
Luminal Na 0,7%
- dipegang
tengkuk mencit
- diselipkan
jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga
masuk ke esophagus
- larutan didesak keluar dari alat suntik
-
diamati
efek yang terjadi selang waktu 10 menit selam 90 menit dan dibuat grafik respon
vs waktu
· Pengaruh Variasi Biologi
1. Pengaruh
berat badan ( digunakan 2 mencit yang memiliki berat badan yang berbeda 25 g
dan 35 g)
- dipegang
tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar
di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
- disuntikkan
Luminal Na 0,7% dengan dosis 50 mg/KgBB pada bagian bawah tengah abdomen dengan
cepat
- Diamati
efek yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit dan dibuat grafik
respon vs waktu.
2.
Pengaruh lingkungan ( digunakan 2 mencit
yang puasa dan tanpa puasa )
- dipegang
tengkuk mencit
-
diselipkan jarum oral yang telah berisi
Luminal Na 0,7% dosis 50 mg/KgBB berdekatan dengan langit-langit dan didorong
hingga masuk ke esophagus
-
Larutan didesak keluar dari alat suntik.
-
Diamati efek yang terjadi selang waktu
10 menit selam 90 menit dan dibuat grafik respon vs waktu
3.
Jenis Kelamin ( digunakan 2 mencit
dengan jenis kelamin berbeda yaitu jantan dan betina )
-
dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa
dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi
abdomen lebih tinggi dari kepala
-
disuntikkan Luminal Na 0,7% dengan dosis
50 mg/KgBB pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat.
-
Diamati efek yang terjadi selang waktu
10 menit selam 90 menit dan dibuat grafik respon vs waktu
· Dosis, Respon dan Indeks Terapi
Pemberian
Luminal Na 0,7%
-
dipegang
tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar
di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
-
disuntikkan Luminal Na 0,7% dengan dosis
100, 200, 400, dan 800 mg/KgBB pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat.
-
diamati efek obat yang terjadi selang
waktu 10 menit selam 90 menit dan dibuat grafik respon vs waktu
4.4 Perhitungan Dosis
a.
Rute Pemberian Obat
Mencit
1: Kontrolaquadest 1% BB secarai.p
BB = 35,2 g
Volume aquadest yang disuntikan = 1% x 35,2 g = 0,352 ml


Jumlah larutan yang diberikan =
= 35,2skala

Mencit 2: Luminal 0,7% dosis 80 mg/kgBB secara oral
BB = 24,5 g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah
obat =
x 24,5 g = 1,96 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 0,28 ml



Jumlah larutan
yang diberikan =
= 28 skala

Mencit
3: Luminal 0,7% dosis 80 mg/kgBB secara i.p
BB = 40,4 g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat
=
x 40,4 g = 3,232 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 0,46 ml



Jumlah larutan
yang diberikan =
= 46,17 skala

b.
Dosis, Respond dan Indeks Terapi
Mencit 1: Kontrol aquadest 1% BB secarai.p
BB = 35,2 g
Volume aquadest yang disuntikan = 1% x 35,2 g = 0,352 ml


Jumlah larutan
yang diberikan =
= 35,2 skala

Mencit 2: Luminal 0,7% dosis 50
mg/kgBBsecarai.p
BB = 26,5 g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah
obat =
x 26,5 g = 1,325 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 0,189 ml



Jumlah larutan
yang diberikan =
= 18,9 skala

Mencit 3: Luminal 0,7% dosis 100
mg/kgBB secara i.p
BB = 20,3 g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah
obat =
x 20,3 g = 2,03 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 0,29 ml



Jumlah larutan
yang diberikan =
= 29 skala

Mencit 4: Luminal 0,7% dosis 200
mg/kgBBsecarai.p
BB = 34,6 g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah
obat =
x 34,6 g = 6,92 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 0,98 ml



Jumlah larutan
yang diberikan =
= 98,85 skala

Mencit 5: Luminal 0,7% dosis 400
mg/kgBB secara i.p
BB = 26,6 g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat
=
x 26,6 g = 10,64 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 1,52 ml



Jumlah larutan
yang diberikan =
= 152 skala

c. Pengaruh
Variasi Biologi terhadap Dosis Obat
Mencit 1: Berat badan18,7 g luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBB secara i.p
BB = 18,7 g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah
obat =
x 18,7 g = 0,935 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 0,133ml



Jumlah larutan
yang diberikan =
= 13,3 skala

Mencit 2: Berat badan 30,5 g luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBB secara i.p
BB = 30,5g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x
1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah
obat =
x 30,5 g = 1,525 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 0,217 ml



Jumlah larutan
yang diberikan =
= 21,7 skala

Mencit 3: Puasa, luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBBsecarai.p
BB = 22,9 g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7
mg/ml
Jumlah
obat =
x 22,9 g = 1,145 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 0,163 ml



Jumlah larutan
yang diberikan =
= 16,35 skala

Mencit 4: tidak puasa, luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBB secara i.p
BB = 24,4 g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat
=
x 24,4 g = 1,22 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 0,174 ml



Jumlah larutan
yang diberikan =
= 17,42skala

Mencit 5: Jantan, luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBBsecarai.p
BB =22,7 g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat
=
x 22,7 g = 1,135 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 0,162 ml



Jumlah larutan yang diberikan =
= 16,21 skala

Mencit 6: Betina, luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBB secara i.p
BB = 21,6 g
Konsentrasi
obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat
=
x 21,6 g = 1,08 mg

Jumlah obat yang diberikan =
= 0,154 ml



Jumlah larutan yang diberikan =
= 15,42 skala

4.5 Perhitungan Indeks Terapi
a.
ED50
|
a
= log dosis terendah yang masih memberikan respon 100% tiap kelompok
b
= beda logaritma dosis yang berurutan

jumlah hewan dalam kelompok
* log ED50 = log 50 – (log 100 – Log 50) ( 4 - 0,5 )
= 1,6989 –
(2 – 1,6989) ( 3,5 )
= 1.6989 –
1,0538
= 0,645
ED50
= 100,645
=
4,4157 mg/kg BB
b.
|
a = log dosis terendah yang masih memberikan kematian
pada hewan percobaan
b
= beda logaritma dosis yang berurutan

Jlh hewan dlm kelompok
* log LD50 = log
400 – (log 200 – log 100) ( 1 –
0,5
)
=
2,602 – (2,301 – 2) ( 0,5 )
= 2,45
LD50 = 102,45
= 281,838
mg/kg BB

ED50

4,415 mg/kg BB
BAB
V
HASIL
DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
a. RutePemberianObat
No.
|
Perlakuan
|
Waktu
(menit)
|
||||||||
10
|
20
|
30
|
40
|
50
|
60
|
70
|
80
|
90
|
||
1
|
Kontrol (aquadest) secara i.p (BB=35,2 g)
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
2
|
Luminal dosis 80 mg/Kg BB secara oral
(BB=24,5 g)
|
1.1
|
1.1
|
1.2
|
1.2
|
1.3
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
3
|
Luminal dosis 80 mg/Kg BB secara i.p
(BB= 40,4 g)
|
1.1
|
1.2
|
1.2
|
1.3
|
1.3
|
1.3
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
b. Dosis,
RespondanIndeksTerapi
NO
|
PERLAKUAN
|
Waktu
(menit)
|
||||||||
10
|
20
|
30
|
40
|
50
|
60
|
70
|
80
|
90
|
||
1
|
Kontrol
(aquadest) secara i.p (BB= 35,2 g)
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
1.1
|
2
|
Kontrol
(aquadest) secara i.p (BB= 35,2 g)
|
1.1
|
1.2
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.3
|
3
|
Luminal
dosis 100 mg/kg BB secara i.p (BB=20,3 g)
|
1.1
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
1.2
|
1.2
|
1.1
|
1.4
|
1.4
|
4
|
Luminal
dosis 200 mg/kg BB secara i.p (BB=34,6 g)
|
1.1
|
1.2
|
1.3
|
1.3
|
1.2
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
5
|
Luminal
dosis 400 mg/kg BB secara i.p (BB=26,6 g)
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
c. Pengaruh
Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat
NO
|
PERLAKUAN
|
Waktu
(menit)
|
||||||||
10
|
20
|
30
|
40
|
50
|
60
|
70
|
80
|
90
|
||
1
|
Mencit 1
BB=18,7
g
|
1.2
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
2
|
Mencit 2
BB=
30,5 g
|
1.2
|
1.3
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
3
|
Mencit 3
BB=22,9
g
|
1.1
|
1.2
|
1.3
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
1.2
|
1.2
|
1.1
|
4
|
Mencit 4
BB=24,4
g
|
1.1
|
1.2
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
5
|
Mencit 5
BB=21,6
g
|
1.3
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.3
|
6
|
Mencit 6
BB=22,7 g
|
1.2
|
1.3
|
1.3
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
1.4
|
Keterangan :
1.1.
Normal
1.2.Garuk-Garuk
(Reaktif)
1.3.GerakLambat
1.4.Tidur
i.p = intra peritoneal
5.2
Pembahasan
Ada
bermacam-macam hewan yang bias dijadikan hewan percobaan antara lain hewan
kecil seperti mencit, tikus, marmot,merpati, kelinci, ayam, itik, biri-biri,
dan kambing. Selain itu ada hewan besar seperti kerbau dan simpanse untuk
tujuan khusus seperti pada percobaan diagnose dari penyakit-penyakit rutin,
penelitian rutin dan pelajaran tentang hewan. Dalam praktikum ini kami
menggunakan mencit (Musmusculus) sebagai hewan percobaan, alasannya karena kecepatan
respon mencit lebih cepat dari pada hewan lain. Dimana kecepatan responnya
136-216/menit, sehingga mencit sangat cocok untuk digunakan dalam percobaan
aktivitas obat berdasarkan dosis,rute pemberian obat dan variasi biologi. Dari
data Rute Pemberian Obat yang diperoleh yaitu:
· Mencit
yang diberi aquadest secara oral respon yang diberikan dari menit ke 10 sampai
menit ke 90 adalah normal.
· Mencit
yang diberi luminal dengan dosis 80 mg/kg BB secara oral pada menit ke 10 dan 20 masih
memberikan respon normal,pada menit ke 30
dan 40 respon yang
diberikanya itu garuk-garuk(reaktif), pada menit ke 50 dan 60 gerak lambat, menit ke70– 90 tidur.
· Mencit
yang diberi luminal dengan dosis 80 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 masih memberikan respon normal. Menit ke 20
dan 30 memberikan
respon garuk-garuk(reaktif),pada menit ke 40 – 70 mulai
memberikan respon gerak lambat, pada menit ke 80 sampai
90 memberikan respon tidur.
Berdasarkan
hasil percobaan pemberian luminal secara oral lebih lambat memberikan respon
dibandingkan pemberian secara intra peritoneal. Menurut teori pemberian secara
oral lebih lambat memberikan efek karena pada pemberian secara oral, tingkat
absorpsi tidak lengkap dan mengalami eliminasi lintas-pertama (first pass)
(Katzung, 2007).
Dari
data Dosis, Respon dan Indeks Terapi yang diperoleh yaitu:
· Mencit
yang diberi aquadest secara i.p respon yang diberikan dari menit ke 10 sampai
menit ke 90 adalah normal.
· Mencit
yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 masih
memberikan respon normal.Pada
menit ke 20 respon yang diberikan yaitu garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 30 memberikan respon gerak lambat, pada menit ke 40 – 80 memberikan respon tidur, dan pada menit ke 90 kembali memberikan respon gerak lambat.
· Mencit
yang diberi luminal dengan dosis 100 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 masih memberikan respon normal, pada menit ke 20 memberikan respon gerak lambat, pada menit 30 dan 40
memberikan respon tidur, pada menit 50 dan 60 memberikan respon garuk-garuk
(reaktif), pada menit 70 kembali memberikan respon normal, dan pada menit 80
dan 90 kembali memberikan respon tidur.
· Mencit
yang diberi luminal dengan dosis 200 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 memberikan respon normal, menit ke 20
memberikan respon garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 30 dan 40 memberikan respon gerak lambat, pada menit
ke 50 garuk-garuk (reaktif), menit ke 60 gerak lambat dan menit ke 70 sampai 90
memberikan respon tidur.
· Mencit
yang diberi luminal dengan dosis 400 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 memberikan
respon gerak lambat dan 20 dan
30
memberikan respon tidur.
Dan pada menit ke 40 mencit mati.
Setelah
dilakukan pengamatan, pemberian luminal secara i.p dengan dosis yang
berbeda-beda ternyata dosis yang lebih tinggi lebih cepat memberikan respon
tidur.
Menurut
teori, efek sebanding dengan jumlah reseptor yang diduduki. Semakin banyak
reseptor yang diduduki, semakin besar efek (Mutschler:2006).
Dari
data Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat yang diperoleh yaitu:
· Mencit
1 (BB= 18,7
g) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10
memberikan respon garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 20 memberikan respon gerak lambat, pada menit 30 sampai 60
respon yang diberikanya itu tidur,
pada menit ke 70 memberikan respon
gerak lambat, dan pada menit 80 dan 90 kembali memberikan respon tidur.
· Mencit
2 (BB=30,5
g) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10
memberikan respon garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 20 dan 30 memberikan respon gerak lambat,
pada menit 40
dan 50 memberikan respon tidur,pada menit
ke 60 memberikan respon gerak
lambat, dan menit 70 sampai 90 kembali memberikan respon tidur.
· Mencit
3 (Puasa) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke
10 normal,menit 20 memberikan respon garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 30 dan 40 gerak
lambat, menit 50
dan 60 tidur, menit 70 dan 80 kembali memberikan respon garuk-garuk
(reaktif), dan pada menit 90 kembali memberikan respon normal.
· Mencit
4 (tidak puasa) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit
ke 10 responnya masih normal,
menit ke 20 memberikan respon garuk-garuk
(reaktif),pada menit ke 30 tidur memberikan respon gerak lambat,
menit 40 sampai 90
memberikan respon tidur.
· Mencit
5 (Jantan) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke
10 dan 20
gerak lambat,menit ke20 memberikan
respon garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 30 sampai 80 memberikan respon tidur, menit 90 kembali memberikan respon gerak lambat.
· Mencit
6 (Betina) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit
ke 10 memberikan respon garuk-garuk
(reaktif),menit 20 dan 30 memberikan respon gerak lambat.pada menit ke 40 sampai 90 tidur.
Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi distribusi obat, kecepatan metabolisme
dan eliminasi obat. Faktor-faktor tersebut adalah faktor genetik dan variable
non genetik seperti umur, jenis kelamin, ukuran hati, fungsi hati, suhu tubuh,
dan faktor-faktor nutrisi serta lingkungan (Katzung, 2007).
Pada data percobaan, variasi mencit berdasarkan
berat badan yang paling cepat memberikan efek adalah mencit yang kurus, karena
luas permukaan tubuh yang kecil sehingga proses absorpsi luminal lebih cepat
dibandingkan mencit yang gemuk.
Mencit 3 (puasa) dan 4 (tidak
puasa)
disuntikkan luminal dengan dosis yang sama, ternyata mencit yang tidak puasa
lebih cepat memberikan respon daripada yang
puasa. Namun hasil yang
diperoleh berbeda dengan teori. Hal ini disebabkan adanya kondisi keadaan
mencit yang kurang baik dan penyuntikkan yang kurang baik.
Mencit 5 (Jantan) dan 6 (Betina) disuntikkan luminal
dengan dosis yang sama, ternyata mencit jantan
lebih
cepat memberikan respon dari pada
mencit betina.Hal ini tidak sesuai dengan teori. Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh dosis yang berkurang pada saat penyuntikkan dan pengaruh beberapa faktor
sifat farmakokinetik dan farmakodinamik
antara lain, keturunan, umur, lingkungan,dll.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
-
Dari percobaan yang dilakukan, dapat diketahui
cara pemberian obat melalui peroral dan intraperitoneal.
-
Pengaruh rute pemberian obat dapat mempengaruhi
onset of action, dimana pemberian secara oral leih cepat
memberikan efek.
-
Pengaruh variasi biologi dosis obat
mempengaruhi onset of action, dimana
semakin berat BB , semakin kosong saluran pencernaan dan jenis kelamin yang
jantan maka semakin cepat memberikan efek.
-
Dari percobaan juga dapat disimpulkan bahwa
dosis yang dibeirkan akan berhubungan dengan repon yang diberikan.
6.2 Saran
-
Sebaiknya pada percobaan dosis respon dan
indeks terapi, tidak hanya menggunakan dua mencit saja. Bisanya dengan
menggunakan mencit yang lebih banyak didapat hasil yang berbeda.
-
Sebaiknya hewan yang digunakan dalam percobaan
ini jangan hanya mencit saja. Kita bisa juga menggunakan tikus atau kelinci.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan,
S.G., 2011. Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan Teraupetik FK UI.
Katzung,
B.G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik.
Edisi X. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika.
Mycek,
M.J., dkk. 1995. Farmakologi Ulasan
Bergambar. Edisi 2.
Mutschler,
E. 2006. Dinamika Obat Edisi Kelima. Bandung : Penerbit ITB
Soemardji,
dkk. 2002. Toksisitas akut dan Penentuan
DL50 Oral Ekstrak Daun Gandarusa (Justicia gendarussa Burm. F. ) pada
mencit Swiss Webster [online]. Available
at: < http://journal.fmipa.itb.ac.id/jms/article/view/14>
[Acessed 17 Maret 2014]
Tjay,
T.H dan Kirana R., 2007. Obat-Obat
Penting. Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya. Jakarta: Penerbit PT.
Elex Media Komputindo
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar