Senin, 14 Juli 2014

rute pemberian obat (RPO)



BAB I
PENDAHULUAN

   Kerja suatu obat merupakan proses kerja dari banyak sekali proses dan sangat rumit. Umumnya ini didasari suatu rangkaian reaksi, yang dibagi dalam tiga fase yaitu: fase farmaseutik, fase farmakokinetika dan fase farmakodinamika (Mutschler, 2006).
Fase farmaseutik meliputi hancurnya bentuk sediaan obat dan melarutnya bahan obat, dimana kebanyakan obat padat yang digunakan. Dalam farmakokinetika termasuk bagian proses eliminasi (evasi) dan invasi. Yang dimaksud dengan invasi ialah proses-proses yang berlangsung dalam pengambilan suatu bahan obat ke dalam organisme (absorpsi, distribusi) sedangkan eliminasi merupakan proses-proses yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam organisme (biotransformasi, ekskresi). Fase farmakodinamika merupakan interaksi obat-reseptor dan juga proses-proses yang terlibat dimana akhir dari efek farmakologi terjadi (Mutschler:2006).
   Dari bentuk kerja obat jelas bahwa tidak hanya bergantung pada sifat farmakodinamika bahan  obat, tetapi juga tergantung kepada:
·         Bentuk sediaan dan bahan pembantu yang digunakan,
·         Jenis dan tempat pemberian,
·         Keterabsorpsian dan kecepatan absorpsi,
·         Distribusi dalam organisme,
·         Ikatan dan lokasi dalam jaringan,
·         Biotransformasi (proses metabolisme) dan
·         Ketereskresian dan kecepatan ekskresi.
Interaksi obat dengan reseptor dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: efek maksimum atau efektivitas merupakan respon yang dapat ditimbulkan oleh obat jika diberikan pada dosis yang tinggi, variasi biologi dimana untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran dosis dan pemberian dosis dengan kisaran tertentu pada populasi akan menimbulkan satu kisaran intensitas efek.

BAB II
TUJUAN PERCOBAAN

Tujuan percobaan ini adalah setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa diharapkan dapat mengetahui pengaruh dosis, rute pemberian obat, dan variasi biologi hewan percobaan terhadap aktivitas obat/ sediaan uji.


























BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hubungan Antara Dosis Obat & Respons

Untuk suatu terapi obat yang bermanfaat, maka, pemberian dosis yang cukup merupakan syarat. Pemeberian dosis yang cukup berarti pemberian dosis sedemikian rupa, sehingga mencapai efek yang diinginkan tanpa dosis berlebihan dan dengan demikian tanpa efek samping toksik yang seharusnya dapat dicegah (Mutschler:2006).
Karena efek yang ditimbulkan oleh suatu obat dalam organisme tergantung pada konsentrasi pada tempat kerja dan dengan demikian pada suatu dosis harus diperhatikan sejauh dosis tertentu, bergantung pada bobot badan maka dosis harus diberikan secara tepat (Mutschler:2006).
Keberhasilan terapi obat selama periode tertentu bergantung pada tercapainya konsentrasi zat berkhasiat yang terletak pada daerah konsentrasi terapeutik. Jika diinginkan untuk secepat mungkin melewati suatu konsentrasi terapeutik minimum yang dibutuhkan pada terapi jangka lama maka diberikan untk senyawa dengan waktu paruh eliminasi yang besar, mula-mula dosis awal yang realtif tinggi dan selanjutnya dosis pemeliharaan yang lebih rendah. Dengan cara ini, kadar dalam darah terletak dalam daerah konsentrasi terapeutik segera dicapai (Mutschler:2006).
Disamping dosis tunggal, dosis harian, dosis awal dan dosis penjenuhan maka selang dosis yaitu waktu anatara dua pemakaian obat merupakan suatu parameter penting untuk kelompok pengaturan dosis (Mutschler:2006).
Baik pada hewan maupun manusia, respons yang ditimbulkan oleh suatu obat dalam dosis yang rendah, biasanya akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan dosis. Namun seiring dengan bertambahnya dosis obat, peningkatan respon tubuh akan berkurang, hingga peningkatan dosis tidak akan menimbulkan peningkatan respon lagi (Katzung, 2007).
Obat agonis bekerja setelah terikat dengan (“menduduki”) suatu molekul biologi tertentu yang karakter afinitasnya cocok dengan reseptor obat tersebut. Bila reseptor diduduki suatu agonis, terjadi perubahan konformasi yang merupakan langkah pertama dari serangkaian tahap yang akhirnya menghasilkan suatu respons farmakologik. Proses transduksi yang terjadi sejak reseptor diduduki hingga timbulnya respon obat sering disebut kopling (Katzung, 2007).
Menurut teori pendudukan reseptor, intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan  intensitas efek mencapai maksimal jika seluruh reseptor diduduki oleh obat (Gunawan, 2011).
Potensi menujukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat-sifat farmakokinetik obat dan afinitas obat terhadap reseptornya. Jika potensi terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau membahayakan jika obatnya mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit (Gunawan, 2011).
Dosis obat yang harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diharapkan tergantung dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, kelamin, besarnya permukaan badan, kelamin, besarnya permukaan badan, beratnya penyakit dan keadaan daya tangkis penderita (Tjay, 2007).

3.1.1 Dosis untuk manula

Manula yaitu orang yang berusia di atas 65 tahun, lazimnya lebih peka terhadap obat dan efek sampingnya, karena perubahan-perubahan fisiologis, seperti menurunnya fungsi ginjal dan metabolisme hati, meningkatnya rasio lemak air dan berkurangnya sirkulasi darah. Karena fungsi hati dan ginjal menurun, maka eliminasi obat pun berlangsung lebih lambat. Lagi pula jumlah albumin darahnya lebih sedikit, oleh karena itu pengikatan obat pun berkurang. Oleh karena faktor-faktor tersebut, bagi lansia dianjurkan menggunakan dosis yang lebih rendah, yakni:


65-74 tahun : dosis biasa-10%
75-84 tahun : dosis biasa-20%
85 tahun lebih : dosis biasa-30%
 
 



                                                                  (Tjay, 2007).


3.1.2 Dosis untuk anak kecil

Anak kecil, terutama bayi yang baru lahir (neonati), menunjukkan kerentanan yang lebih besar terhadap obat, karena fungsi hati dan ginjal serta sistem enzimnya belum berkembang lengkap (Tjay, 2007).
Ada beberapa rumus untuk menghitung dosis anak-anak berdasarkan usia, bobot badan atau luas permukaan badan (Tjay, 2007).

3.1.3 Indeks Terapi

Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran dosis. Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif median (=ED 50). Dosis letal median (=LD50) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50% individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50% (Gunawan, 2011).
Indeks terapi (LD50:ED50) merupakan perbandingan antara kedua dosis itu, yang merupakan suatu ukuran keamanan obat. Semakin besar indeks terapi, semakin aman penggunaan obat tersebut. Indeks terapi ini tidak dengan begitu saja dapat dikorelasikan terhadap manusia, seperti semua hasil percobaan dengan binatang, karena adanya perbedaan metabolisme (Tjay, 2007).
Luas terapi (ED50-LD50) adalah jarak antara ED50 dan LD50, juga dinamakan jarak keamanan. Seperti indeks terapi, luas terapi berguna pula sebagai indikasi untuk keamanan obat, terutama untuk obat yang digunakan untuk jangka waktu panjang. Obat dengan luas terapi kecil, yaitu dengan selisih kecil anatara dosis terapi dan dosis toksisnya, mudah sekali menimbulkan keracunan bila dosis normalnya dilampaui (Tjay, 2007).
Ada berbagai metode perhitungan DL yang umum digunakan antara lain metode Miller-Tainter, metode Reed-Muench, dan metode Kärber. Dalam metode Miller-Tainter digunakan kertas grafik khusus yaitu kertas logaritma-probit yang memiliki skala logaritmik sebagai absis dan skala probit (skala ini tidak linier) sebagai ordinat. Pada kertas ini dibuat grafik antara persen mortalitas terhadap logaritma dosis. Metode Reed-Muench didasarkan pada nilai kumulatif jumlah hewan yang hidup dan jumlah hewan 50  yang  mati. Diasumsikan bahwa hewan yang  mati dengan dosis tertentu akan mati dengan dosis yang lebih besar, dan hewan yang hidup akan hidup dengan dosis yang lebih kecil. Metode Kärber prinsipnya menggunakan rataan interval jumlah kematian dalam masing-masing kelompok hewan dan selisih dosis pada interval yang sama (Soemardji, 2002).

3.2 Rute Pemberian Obat
Rute pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat obat (seperti kelarutan dalam air atau lipid, ionisasi, dsb) dan oleh tujuan terapi (misalnya, keinginan akan suatu awitan kerja obat yang cepat ayau kebutuhan akan pemberian jangka panjang atau terbatas pada suatu tempat local (Mycek, 1997).
Cara pemberian obat turut menentukan kecepatan dan kelengkapan resorpsi obat. Tergantung efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau efek lokal (setempat), keadaan pasien dan sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih dari banyak cara untuk memberikan obat (Tjay, 2007).

3.2.1 Efek sistemis
a. Oral
Pemberian obat melalui mulut (per oral) adalah cara yang paling lazim, karena sangat praktis, mudah dan aman. Namun, tidak semua obat dapat diberikan peroral, misalnya obat yang bersifat merangsang atau yang diuraikan oleh getah lambung seperti benzilpenisilin, insulin, oksitoksin dan hormone steroida (Tjay, 2007).
Sering kali, resorpsi obat setelah pemberian oral tidak teratur dan tidak lengkap, meskipun formulasinya optimal. Keberatan lain adalah obat setelah diresorpsi harus melalui hati, dimana dapat terjadi inaktivasi, sebelum diedarkan ke lokasi kerjanya (Tjay, 2007).
Untuk mencapai efek lokal di usus dilakukan pemberian oral, misalnyaobat cacing atau antibiotika untuk mensterilkan lambung-usus pada infeksi atau sebelum pembedahan. Obat-obat ini justru tidak boleh diserap, begitu pula zat-zat kontras Rontgen guna membuat foto lambung-usus (Tjay, 2007).
b. Sublingual
Obat setelah dikunyah halus diletakkan di bawah lidah (sublingual), temoat berlangsungnya resorpsi oleh selaput lender setenpat ke dalam vena lidah yang sangat banyak di lokasi ini. Keuntungan cara ini ialah obat langsung ke perendaraan darah besar tnpa nelalui hati Oleh karena itu, cara ini digunakan yang pesat  dan lengkap diinginkan. Keberatannya adalah kurang praktis utuk digunakan terus menerus dan dapatmerangsang mukosa mulut. Hanya obat yang bersifat lifopil saja yang dapat dibetkan dengan cara ini (Tjay, 2007).
c. Injeksi
Pemberian obat secara parenteral biasanya dipilih diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap atau tidak mau bekerja sama. Keberatannya adalah cara ini lebuh mahal dan lebih rugi serta sukar digunakan oleh pasien sendiri. Selain itu ada pula bahaya terkena infeksi kuman (hrus steril) dan bahaya merusak pembuluh atau saraf jika tempat suntikan tidak dipilih dengan tepat (Tjay, 2007).
·      Subkutan (hypodermal). Injeksi di bawah kulit tidak dapat dilakukan hanya dengan obat yang tidak merangsang dan melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak secepat injeksi intramuscular atau intravena. Mudah dilakukan sendiri, misalnya pada insulin pada pasien penyakit gula.
·      Intrakutan (di dalam kulit): absorsi sangat lambat, misalnya injeksi tuberculin.
·      Intramuskular (i.m.) Dengan injeksi di dalam otot, obat yang terlarut bekerja dalam 10-30 menit. Guna memperlambat resopsi dengan maksud memperpanjang kerja obat, seringkalai digunakan  larutan atau suspensi dalam minyak.
·      Intravena (i.v.) Injeksi ke dalam pembuluh darah menghasilakn efek tercepat dalam waktu 18 detik, yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar ke seluruh jaringan. Tetapi lama kerja obat biasanya singkat. Cara ini digunakan untuk mencapai pentakaran yang tepat dan dapat dipercaya, atau efek yang sangat cepat dan kuat.
·      Intraarteri. Injeksi ke pembuluih nadi adakalanya dilakukan untuk membanjiri suatu organ, misalnya hati dengan obat yang cepat diinaktifkan atau terikat pada jaringan.
·      Intralumbal (antara ruas tulang belakang pinggang), intraperitonial (ke dalam ruang selaput perut), intracardial (jantung) dan intra-artikular (ke celah-celah sendi) adalah beberapa cara injeksi lainnya untuk memasukkan oabt langsnug ke temapt yang diinginkan.
d.                Implantasi subkutan
Implantasi subkutan adalah memasukkan oabt dalam bentuk pellet steril (obat silindris kecil) ke bawah kulit dengan menggunakan suatu alat khusus. Obat ini terutama digunakan untuk efek sistemik lama.
e.    Rektal
Rektal adalah pemberian obat melalui rectum (dubur) yang layak untk obat yang merangsang atau obat yang diuraikan oleh asam lambung.

3.2.2  Efek lokal
a.    Intranasal
Intranasal (melalui hidung) digunakan tetes hidung pada salesma untuk menciutkan mukosa yang bengkak.
b.   Intraokuler dan intra-aurikular
Obat berbentuk tetes atau salep yang digunakan untk mengobati penyakit mata atau telinga. Pada penggunaan beberapa jenis obat tetes harus waspada, karena oabat dalam direpsorsi ke darah dan menimbulkan efek toksis.
c.    Inhalasi (Intrapulmonal)
Gas, zat terbang atau larutan sering kali diberikan secara inhalasi (aerosol), yaitu obat yang disemprotkan ke dalam mulut dengan alat aerosol. SEmprotan obat yang dihirup dengan udara dan resopsi terjadi melalui mukosa mulut, tenggorok dan saluran nafas. Tanpa melalui hati, obat denagn cepat memasuki peredaran darah dan menghasilkan efeknya.
d.   Intravaginal
Untuk mengobati gangguan vagina secara lokal tersedia salep, tablet atau sejenis supositoria vaginal (ovula) yang harus dimasukkan ke dalam vagina dan melarut di situ. Penggunaan lain adalah untuk mencegah kehamilan, dimana zat spermicid (dengan daya mematikan sel-sel mani) diamsukkan dalam bentuk tablet busa, krim atau foam (Tjay:2006).
e.    Kulit (Topikal)
Pada penaykit kulit, oabt yng digunakan berupa salep, krem atau lotion (kocokan). Kulit yang sehat dan utuh sukar sekali ditembus obat, tetapi resopsi berlangsung lebih mudah jika ada kerusakan (Tjay:2006).

Tabel 3.1 Rute pemberian, bioavailabilitas dan sifat-sifat umum
Rute
Bioavailibilitas (%)
Sifat-sifat
Intravena (i.v.)
100 (dengan ketentuan)
Kebanyakan dengan mula kerja cepat
Intramuskular (i.m.)
75 sampai ≤ 100
Sering membutuhkan volume yang besar, mungkin disertai rasa nyeri.
Subkutan (s.c.)
75 sampai ≤ 100
Volume lebih sedikit dibandingkan dengan i.m, mungkin dengan rasa nyeri.
Oral
5 sampai < 100
Sebagaian besar sesuai, efek first pass mungkin berarti.
Rektal
30 sampai < 100
Efek first pass lebih kecil dibandingkan dengan oral.
Inhalasi
5 sampai < 100
Mula kerja sering sangat cepat.
Transdermal
80 sampai ≤ 100
Absorbsi biasanya sangat lambat, biasanya digunakan untuk yang tidak memiliki efek first pass, memperlama durasi kerja.
(Katzung, 2007)

3.3      Variasi Respon Obat

Respon individu-individu terhadap suatu obat bisa sangat bervariasi, seorang individu dapat memberikan dapat memberikan respon yang berlainan terhadap obat ayng sama pada waktu yang berbeda selama masa pengobatan. Kadangkala, penderita menunjukkan respon tidak lazim atas idiosinkrasi, yaitu suatu respon yang jarang terlihat pada kebanayakan penderita. Respon idiosinkrasi biasanya disebebkan oleh perbedaan genetic metabolism obat atau mekanisme imunologi, termasuk reaksi alergi (Katzung, 2007).
Variasi kuantitatif respon obat biasanya lebih sering dan secara klinis lebih penting. Seorang individu disebut hiporeaktif atau hipereaktif terhadap suatu obat jika intensitas efek suatu obat dalam dosis tertentu menjadi berkurang atau bertamabah bila dibandingkan dengan efeknya pada kebanyakan individu (Katzung, 2007).
Dengan beberapa obat, intensitas respon akibat pemebrian obat bias berubah selama masa terapi, respon biasanya menurun akibat pemberian obat yang terus menerus, menghasilkan suatu keadaan toleransi relatif efek obat. Apabila responnya hilang dengan cepat setelah pemberian suatu obat, respon yang demikian disebut sebagai takifilaksis (Katzung, 2007).
Dalam memberikan dosis pertama suatu obat, harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mungkin membantu dalam meramalkan variasi respon suatu obat. Faktor-faktor tersebut meliputi kecenderungan obat-obat tertentu untuk menghasilkan toleransi atau takifilaksis, umur, seks, ukuran tubuh, keadaan penyakit, dan pemebrian obat-obat lain secara simultan (Katzung, 2007).
3.3.1 Umur dan Jenis Kelamin

Kepekaan yang meningkat terhadap aktivitas farmakologi dan toksisitas obat-oabat telah dilaporkan pada pasien yang sangat muda dan yang tua sekali dibandingkan dengan pasien dewasa muda. Walaupun hal ini mencerminkan adanya perbedaan dalam absorbsi obat, distribusi dan eliminasi obat, perbedaan-perbedaan dalam metabolisme obat juga memiliki peranan. Metabolisme yang lebih lambat dapat disebabkan oleh berkurangnya aktivitas enzim metabolik atau berkurangnya ketersediaan kofaktor endogen dan esensial (Katzung, 2007).
Variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah dikenal dengan baik pada tikus tetapi tidak pada hewan pengerat lain. Tikus jantan dewasa muda menunjukkan metabolisme obat yang jauh lebih cepat daripada tikus betina atau tikus jantan pre-pubertas. Perbedaan dalam metabolisme obat ini jelas berhubungan dengan hormone adrogenik. Beberapa laporan klinik menyatakan bahwa perbedaan serupa pada metabolisme obat yang ter-dependent ini terjadi juga pada manusia untuk etanol, propanolol, beberapa benzodiazepine, estrogen dan salisilat (Katzung, 2007).

3.4        Fenobarbital
Senyawa hipnotik ini terutama digunakan pada serangan grand mal dan status epilepticus berdasarkan sifatnya yang dapat memblokir pelepasan muatan listrik di otak. Untuk mengatasi efek hipnotiknya, obat ini dapat dikombinasikan dengan kafein. Tidak boleh diebrikan pada absences kerana dapat memperburuknya (Tjay:2006).
Resopsinya di usus baik (70-90%) dan lebih kurang 50% terikat pada protein, plasma t1/2nya panjang, lebih kurang 3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus. Kontraindikasinya 50% dipecah menjadi p-hidroksifenobarbital yang dieksresikan lewat urin dan hanya 10-30% dalam keadaan utuh (Tjay:2006).
Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya yakni pusing, mengantuk, ataksia dan pada anak-anaka mudah terangsang. Efek samping ini dapat dikurangi dengan penambahan obat-obat lain (Tjay:2006).
Interaksi bersifat menginduksi enzim dan antaralain mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya achitis pada anak kecil. Penggunaanya bersama valproat harus hati-hati karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan (Tjay:2006).
Dosisnya 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam 2 kali), pada anak-anak 2-12 bulan 4 mg/kg berat badan sehari (Tjay:2006)











BAB IV
METODE PERCOBAAN
4.1  Alat
-          Spidol permanen
-          Syringe
-          Timbangan elektrik
-          Beaker glass 10 ml
-          Wadah kaca untuk pengamatan
4.2  Bahan
-          Mencit 4 ekor
-          Luminal Na konsentrasi 0,7%
4.3  Prosedur Percobaan
1.   Penandaan Hewan
-       dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa kandang
-       ditandai ekor mencit dengan spidol permanent
-       diletakkan di atas timbangan, kemudian catat beratnya
-       dihitung dosisnya
2.   Persiapan Hewan
-       dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa kandang.
-       dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri
-       ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna
-       mencit siap untuk disuntik

3.   Cara Pemberian Obat
·      Intraperitoneal
Pemberian Luminal Na 0,7%
-       dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
-       disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
-       diamati efek obat yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit dan dibuat grafik respon vs waktu
·      Peroral
Percobaan kontrol (dengan pemberian aquadest)
-       dipegang tengkuk mencit
-       diselipkan jarum oral yang telah berisi aquadest berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga masuk ke esophagus
-       Larutan didesak keluar dari alat suntik.
-       Diamati efek yang terjadi selang waktu 10 menit selam 90 menit dan dibuat grafik respon vs waktu
Pemberian Luminal Na 0,7%
-       dipegang tengkuk mencit
-       diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga masuk ke esophagus
-       larutan didesak keluar dari alat suntik
-       diamati efek yang terjadi selang waktu 10 menit selam 90 menit dan dibuat grafik respon vs waktu
·      Pengaruh Variasi Biologi
1.      Pengaruh berat badan ( digunakan 2 mencit yang memiliki berat badan yang berbeda 25 g dan 35 g)
-  dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
-       disuntikkan Luminal Na 0,7% dengan dosis 50 mg/KgBB pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
-       Diamati efek yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit dan dibuat grafik respon vs waktu.
2. Pengaruh lingkungan ( digunakan 2 mencit yang puasa dan tanpa puasa )
-     dipegang tengkuk mencit
-        diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% dosis 50 mg/KgBB berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga masuk ke esophagus
-        Larutan didesak keluar dari alat suntik.
-        Diamati efek yang terjadi selang waktu 10 menit selam 90 menit dan dibuat grafik respon vs waktu
3.   Jenis Kelamin ( digunakan 2 mencit dengan jenis kelamin berbeda yaitu jantan dan betina )
-   dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
-   disuntikkan Luminal Na 0,7% dengan dosis 50 mg/KgBB pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat.
-   Diamati efek yang terjadi selang waktu 10 menit selam 90 menit dan dibuat grafik respon vs waktu
·      Dosis, Respon dan Indeks Terapi
Pemberian Luminal Na 0,7%
-        dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
-        disuntikkan Luminal Na 0,7% dengan dosis 100, 200, 400, dan 800 mg/KgBB pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat.
-        diamati efek obat yang terjadi selang waktu 10 menit selam 90 menit dan dibuat grafik respon vs waktu
4.4 Perhitungan Dosis
a. Rute Pemberian Obat
Mencit 1: Kontrolaquadest 1% BB secarai.p
BB = 35,2 g
Volume aquadest yang disuntikan = 1% x 35,2 g = 0,352 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                         1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 35,2skala

Mencit 2: Luminal 0,7% dosis 80 mg/kgBB secara oral
 BB = 24,5 g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
                     = 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 24,5 g = 1,96 mg
Jumlah obat yang diberikan =  = 0,28 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 28 skala

Mencit 3: Luminal 0,7% dosis 80 mg/kgBB secara i.p
  BB = 40,4 g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
                     = 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 40,4 g = 3,232 mg
Jumlah obat yang diberikan =  = 0,46 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 46,17 skala

b.   Dosis, Respond dan Indeks Terapi
Mencit 1: Kontrol aquadest 1% BB secarai.p
BB = 35,2 g
Volume aquadest yang disuntikan = 1% x 35,2 g = 0,352 ml
Skalaspuit 1 ml = 100 skala                         1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 35,2 skala
Mencit 2: Luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBBsecarai.p
BB = 26,5 g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
                     = 0,7 x 1000 mg/100 ml  = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 26,5 g = 1,325 mg
Jumlah obat yang diberikan =  = 0,189 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 18,9 skala
Mencit 3: Luminal 0,7% dosis 100 mg/kgBB secara i.p
BB = 20,3 g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
                     = 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 20,3 g = 2,03 mg
Jumlah obat yang diberikan =  = 0,29 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 29 skala
Mencit 4: Luminal 0,7% dosis 200 mg/kgBBsecarai.p
 BB = 34,6 g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
                     = 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 34,6 g = 6,92 mg
Jumlah obat yang diberikan =  = 0,98 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 98,85 skala
Mencit 5: Luminal 0,7% dosis 400 mg/kgBB secara i.p
 BB = 26,6 g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
                     = 0,7 x 1000 mg/100 ml  = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 26,6 g = 10,64 mg
Jumlah obat yang diberikan =  = 1,52 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 152 skala

c.    Pengaruh Variasi Biologi terhadap Dosis Obat
Mencit 1: Berat badan18,7 g luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBB secara i.p
BB = 18,7 g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
 = 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 18,7 g = 0,935 mg
Jumlah obat yang diberikan =  = 0,133ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 13,3 skala
Mencit 2: Berat badan 30,5 g luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBB secara i.p
BB = 30,5g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
= 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 30,5 g = 1,525 mg
Jumlah obat yang diberikan =  = 0,217 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 21,7 skala
Mencit 3: Puasa, luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBBsecarai.p
BB = 22,9 g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
                    = 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 22,9 g = 1,145 mg
Jumlah obat yang diberikan =  = 0,163 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 16,35 skala
Mencit 4: tidak puasa, luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBB secara i.p
BB = 24,4 g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
                     = 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 24,4 g = 1,22 mg
Jumlah obat yang diberikan =  = 0,174 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 17,42skala

Mencit 5: Jantan, luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBBsecarai.p
BB =22,7 g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
                     = 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 22,7 g = 1,135 mg
Jumlah obat yang diberikan = = 0,162 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 16,21 skala

Mencit 6: Betina, luminal 0,7% dosis 50 mg/kgBB secara i.p
BB = 21,6 g
Konsentrasi obat = 0,7% = 0,7 g/100 ml
              = 0,7 x 1000 mg/100 ml = 7 mg/ml
Jumlah obat =  x 21,6 g = 1,08 mg
Jumlah obat yang diberikan =  = 0,154 ml
Skala spuit 1 ml = 100 skala                        1 skala =  = 0,01 ml
Jumlah larutan yang diberikan =  = 15,42 skala




4.5  Perhitungan Indeks Terapi
a.      ED50


Log ED50  =  a – b  ( ∑Pi – 0,5 )

 
 



a   = log dosis terendah yang masih memberikan respon 100% tiap kelompok
b   = beda logaritma dosis yang berurutan
Pi  =         jumlah yang memberikan respon    
                  jumlah hewan dalam kelompok
* log ED50  =  log 50 – (log 100 – Log 50)  ( 4 - 0,5 )
                     = 1,6989  – (2 – 1,6989) ( 3,5 )
                    =  1.6989  – 1,0538
                    =  0,645
         ED50  =  100,645
                           =  4,4157 mg/kg BB
b.     
Log LD50  =  a – b  ( ∑Pi – 0,5 )
 
LD50


a  = log dosis terendah yang masih memberikan kematian pada hewan percobaan
b   = beda logaritma dosis yang berurutan
Pi = jumlah hewan yang mati
          Jlh hewan dlm kelompok

* log LD50    =  log 400 – (log 200 – log 100) ( 1 – 0,5 )
                      =  2,602 – (2,301 – 2) ( 0,5 )
 =  2,45
         LD50    =  102,45
                     =  281,838 mg/kg BB
Indeks Terapi   =       LD50 
                                  ED50  
                           =   281,838 mg/kg BB     =   63,836
                                4,415  mg/kg BB
























BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1  Hasil
a.    RutePemberianObat

No.
Perlakuan
Waktu (menit)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1
Kontrol (aquadest) secara i.p (BB=35,2 g)
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
2
Luminal dosis 80 mg/Kg BB secara oral (BB=24,5 g)
1.1
1.1
1.2
1.2
1.3
1.3
1.4
1.4
1.4
3
Luminal dosis 80 mg/Kg BB secara i.p (BB= 40,4 g)
1.1
1.2
1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4

b.    Dosis, RespondanIndeksTerapi
NO
PERLAKUAN
Waktu (menit)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1
Kontrol (aquadest) secara i.p (BB= 35,2 g)
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
2
Kontrol (aquadest) secara i.p (BB= 35,2 g)
1.1
1.2
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.3
3
Luminal dosis 100 mg/kg BB secara i.p (BB=20,3 g)
1.1
1.3
1.4
1.4
1.2
1.2
1.1
1.4
1.4
4
Luminal dosis 200 mg/kg BB secara i.p (BB=34,6 g)
1.1
1.2
1.3
1.3
1.2
1.3
1.4
1.4
1.4
5
Luminal dosis 400 mg/kg BB secara i.p (BB=26,6 g)
1.3
1.4
1.4
-
-
-
-
-
-


c.    Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat
NO
PERLAKUAN
Waktu (menit)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1
Mencit 1
BB=18,7 g
1.2
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
1.3
1.4
1.4
2
Mencit 2
BB= 30,5 g
1.2
1.3
1.3
1.4
1.4
1.3
1.4
1.4
1.4
3
Mencit 3
BB=22,9 g
1.1
1.2
1.3
1.3
1.4
1.4
1.2
1.2
1.1
4
Mencit 4
BB=24,4 g
1.1
1.2
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
5
Mencit 5
BB=21,6 g
1.3
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.3
6
Mencit 6
BB=22,7 g
1.2
1.3
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4

Keterangan :
1.1. Normal
1.2.Garuk-Garuk (Reaktif)
1.3.GerakLambat
1.4.Tidur
i.p = intra peritoneal

5.2 Pembahasan
Ada bermacam-macam hewan yang bias dijadikan hewan percobaan antara lain hewan kecil seperti mencit, tikus, marmot,merpati, kelinci, ayam, itik, biri-biri, dan kambing. Selain itu ada hewan besar seperti kerbau dan simpanse untuk tujuan khusus seperti pada percobaan diagnose dari penyakit-penyakit rutin, penelitian rutin dan pelajaran tentang hewan. Dalam praktikum ini kami menggunakan mencit (Musmusculus) sebagai  hewan percobaan, alasannya karena kecepatan respon mencit lebih cepat dari pada hewan lain. Dimana kecepatan responnya 136-216/menit, sehingga mencit sangat cocok untuk digunakan dalam percobaan aktivitas obat berdasarkan dosis,rute pemberian obat dan variasi biologi. Dari data Rute Pemberian Obat yang diperoleh yaitu:
·      Mencit yang diberi aquadest secara oral respon yang diberikan dari menit ke 10 sampai menit ke 90 adalah normal.
·      Mencit yang diberi luminal dengan dosis 80 mg/kg BB secara oral pada menit ke 10  dan 20 masih memberikan respon normal,pada menit ke 30 dan 40 respon yang diberikanya itu garuk-garuk(reaktif), pada menit ke 50 dan 60 gerak lambat, menit ke70– 90 tidur.
·      Mencit yang diberi luminal dengan dosis 80 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 masih memberikan respon normal. Menit ke  20 dan 30 memberikan respon garuk-garuk(reaktif),pada menit ke 40 – 70 mulai memberikan respon gerak lambat, pada menit ke 80 sampai 90 memberikan respon tidur.
Berdasarkan hasil percobaan pemberian luminal secara oral lebih lambat memberikan respon dibandingkan pemberian secara intra peritoneal. Menurut teori pemberian secara oral lebih lambat memberikan efek karena pada pemberian secara oral, tingkat absorpsi tidak lengkap dan mengalami eliminasi lintas-pertama (first pass) (Katzung, 2007).

Dari data Dosis, Respon dan Indeks Terapi yang diperoleh yaitu:
·      Mencit yang diberi aquadest secara i.p respon yang diberikan dari menit ke 10 sampai menit ke 90 adalah normal.
·      Mencit yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 masih memberikan respon normal.Pada menit ke 20 respon yang diberikan yaitu garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 30 memberikan respon gerak lambat, pada menit ke 40 – 80 memberikan respon tidur, dan pada menit ke 90 kembali memberikan respon gerak lambat.
·      Mencit yang diberi luminal dengan dosis 100 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 masih memberikan respon normal, pada menit ke 20 memberikan respon gerak lambat, pada menit 30 dan 40 memberikan respon tidur, pada menit 50 dan 60 memberikan respon garuk-garuk (reaktif), pada menit 70 kembali memberikan respon normal, dan pada menit 80 dan 90 kembali memberikan respon tidur.
·      Mencit yang diberi luminal dengan dosis 200 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 memberikan respon normal, menit ke 20 memberikan respon garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 30 dan 40 memberikan respon gerak lambat, pada  menit ke 50 garuk-garuk (reaktif), menit ke 60 gerak lambat dan menit ke 70 sampai 90 memberikan respon tidur.
·      Mencit yang diberi luminal dengan dosis 400 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 memberikan respon gerak lambat dan 20 dan 30 memberikan respon tidur. Dan pada menit ke 40 mencit mati.
Setelah dilakukan pengamatan, pemberian luminal secara i.p dengan dosis yang berbeda-beda ternyata dosis yang lebih tinggi lebih cepat memberikan respon tidur.
Menurut teori, efek sebanding dengan jumlah reseptor yang diduduki. Semakin banyak reseptor yang diduduki, semakin besar efek (Mutschler:2006).

Dari data Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat yang diperoleh yaitu:
·      Mencit 1 (BB= 18,7 g) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 memberikan respon garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 20 memberikan respon gerak lambat, pada menit  30 sampai 60  respon yang diberikanya itu tidur, pada menit ke 70 memberikan respon gerak lambat, dan pada menit 80 dan 90 kembali memberikan respon tidur.
·      Mencit 2 (BB=30,5 g) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 memberikan respon garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 20 dan 30 memberikan respon gerak lambat, pada menit 40 dan 50 memberikan respon tidur,pada menit ke 60 memberikan respon gerak lambat, dan menit 70 sampai 90 kembali memberikan respon tidur.
·      Mencit 3 (Puasa) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 normal,menit 20 memberikan respon garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 30 dan 40 gerak lambat, menit 50 dan 60 tidur, menit 70 dan 80 kembali memberikan respon garuk-garuk (reaktif), dan pada menit 90 kembali memberikan respon normal.
·      Mencit 4 (tidak puasa) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 responnya masih normal, menit ke 20 memberikan respon garuk-garuk (reaktif),pada menit ke 30 tidur memberikan respon gerak lambat, menit 40 sampai 90 memberikan respon tidur.
·      Mencit 5 (Jantan) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 dan 20 gerak lambat,menit ke20 memberikan respon garuk-garuk (reaktif), pada menit ke 30 sampai 80 memberikan respon tidur, menit 90 kembali memberikan respon gerak lambat.
·      Mencit 6 (Betina) yang diberi luminal dengan dosis 50 mg/kg BB secara i.p pada menit ke 10 memberikan respon garuk-garuk (reaktif),menit 20 dan 30 memberikan respon gerak lambat.pada menit ke 40 sampai 90 tidur.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi distribusi obat, kecepatan metabolisme dan eliminasi obat. Faktor-faktor tersebut adalah faktor genetik dan variable non genetik seperti umur, jenis kelamin, ukuran hati, fungsi hati, suhu tubuh, dan faktor-faktor nutrisi serta lingkungan (Katzung, 2007).
Pada data percobaan, variasi mencit berdasarkan berat badan yang paling cepat memberikan efek adalah mencit yang kurus, karena luas permukaan tubuh yang kecil sehingga proses absorpsi luminal lebih cepat dibandingkan mencit yang gemuk.
Mencit 3 (puasa) dan 4 (tidak puasa) disuntikkan luminal dengan dosis yang sama, ternyata mencit yang tidak  puasa lebih cepat memberikan respon daripada yang  puasa. Namun hasil yang diperoleh berbeda dengan teori. Hal ini disebabkan adanya kondisi keadaan mencit yang kurang baik dan penyuntikkan yang kurang baik.
Mencit 5 (Jantan) dan 6 (Betina) disuntikkan luminal dengan dosis yang sama, ternyata mencit jantan lebih cepat memberikan respon dari pada mencit betina.Hal ini tidak sesuai dengan teori. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dosis yang berkurang pada saat penyuntikkan dan pengaruh beberapa faktor sifat farmakokinetik dan farmakodinamik  antara lain, keturunan, umur, lingkungan,dll.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1  Kesimpulan
-          Dari percobaan yang dilakukan, dapat diketahui cara pemberian obat melalui peroral dan intraperitoneal.
-          Pengaruh rute pemberian obat dapat mempengaruhi onset of action,  dimana pemberian secara oral leih cepat memberikan efek.
-          Pengaruh variasi biologi dosis obat mempengaruhi onset of action, dimana semakin berat BB , semakin kosong saluran pencernaan dan jenis kelamin yang jantan maka semakin cepat memberikan efek.
-          Dari percobaan juga dapat disimpulkan bahwa dosis yang dibeirkan akan berhubungan dengan repon yang diberikan.

6.2  Saran
-          Sebaiknya pada percobaan dosis respon dan indeks terapi, tidak hanya menggunakan dua mencit saja. Bisanya dengan menggunakan mencit yang lebih banyak didapat hasil yang berbeda.
-          Sebaiknya hewan yang digunakan dalam percobaan ini jangan hanya mencit saja. Kita bisa juga menggunakan tikus atau kelinci.











DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, S.G., 2011. Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Teraupetik FK UI.
Katzung, B.G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi X. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Mycek, M.J., dkk. 1995. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2.
Mutschler, E. 2006. Dinamika Obat Edisi Kelima. Bandung : Penerbit ITB
Soemardji, dkk. 2002. Toksisitas akut dan Penentuan DL50 Oral Ekstrak Daun Gandarusa (Justicia gendarussa Burm. F. ) pada mencit Swiss Webster [online].  Available at: < http://journal.fmipa.itb.ac.id/jms/article/view/14> [Acessed 17 Maret 2014]
Tjay, T.H dan Kirana R., 2007. Obat-Obat Penting. Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo


.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar